Isak tangis seseorang mengganggu tidur Hana yang memang sama sekali tak nyenyak sejak semalam. Berusaha ia membuka mata guna memastikan siapa yang ada di sana, menggenggam jemarinya begitu kuat dengan tubuh yang ia rasa bergetar. Itu adalah Juan, menangis tersedu-sedu tepat di sampingnya. Ingus pun turut membanjiri bersama dengan air mata yang tak kunjung berhenti.
"Loh, Juan? Ada apa?"
Berusaha ia bangkit dengan pening yang menyerang bukan main.
"Huwaa Bundaa!! Aku kira Bunda mati!!"
Sang putra menerjang tubuhnya dengan sebuah pelukan erat kala ia berhasil bangun. Tangis bocah itu makin menjadi, ia bahkan bisa merasakan basah di dada entah dari ingus atau air mata.
"Juan kenapa, Nak? Kok ngomongnya gitu ke Bunda?"
"Habisnya Bunda aku bangunin dari tadi nggak mau bangun!! Aku kira Bunda mati!"
Gelak tawa Hana berikan mendengar penuturan sang putra. Ia hanya tak habis pikir bagaimana bisa Juan berpikiran sejauh itu hanya karena ia yang tak kunjung membuka mata di kala tidurnya.
"Kan, Om wis bilang ke Juan. Kalau Bundanya Juan gak mati."
Itu Jihoon yang rambutnya masih berantakan khas bangun tidur. Kerut kening satu-satunya wanita yang ada di sana menyatu, bertanya gerangan apakah yang membuat sang kawan berkunjung ke rumahnya sepagi ini dengan rambut masih acak-acakan.
"Kan, Juan takut, Om!"
"Anakmu, Na. Pagi-pagi wis gedor-gedor rumah orang bilang kalo Bundanya mati. Untung gak jantungan aku."
Hana hanya tertawa mendengar penuturan Jihoon yang diselingi dengan decakan kesal. Sudah pasti Juan heboh sendiri pagi-pagi dan keluar rumah berlari menuju rumah Jihoon.
Sama seperti waktu itu, hanya karena Hana yang berteriak lantaran terkejut melihat serangga hingga terjatuh di kamar mandi Juan tanpa pikir panjang langsung berlari menuju rumah Jihoon, menggedor pintu rumah pria itu sembari berteriak ketakutan, bundanya dalam bahaya, katanya. Sempat Hana lupa jika Jihoon merupakan tetangga sebelah rumahnya.
"Udah ayo Juan mandi sama Om aja, biarin Bundanya istirahat lagi." Jihoon berjalan mendekat pada Juan, hendak meraih tubuh kecil itu namun si bocah menyilangkan tangannya depan dada sembari menggeleng rusuh guna menolak masih dengan sisa-sisa tangisnya.
"Gak mau!! Juan maunya sama Bunda!!"
Hana meraih wajah putra kecilnya, menangkupnya menggunakan kedua telapak dan mendaratkan sebuah kecupan singkat tepat di kening. "Iya, Juan sama Bunda, ya. Tapi stop dulu nangisnya, masa jagoan nangis kenceng gini pagi-pagi, sih?"
Ajaib, tangis bocah itu mendadak berhenti. Ia tarik tubuhnya untuk duduk tegap sembari mengelap ingus pun air mata yang tak kunjung berhenti walau ia tak lagi merengek.
Manik bening bocah itu tampak bersinar kala beradu pandang dengan milik sang ibunda. Untuk sejenak Hana menikmati menatap manik yang indah itu. Garis pada bawah kelopak yang membentuk sebuah guratan kala tersenyum itu benar-benar mengingatkannya pada sang mendiang suami.
Kala beradu pandang dengan Juan seperti ini pun Hana seolah bisa melihat wajah Haruto di sana. Kala melihat Juan tersenyum, maka ia juga akan melihat wajah hangat sang suami yang tersenyum padanya. Saat menangis pun sama, bagaimana kelopak itu yang menjadi merah hingga membengkak terlihat sama persis dengan milik suaminya.
"Juan sudah gak nangis lagi."
Hana menyunggingkan senyumnya, ia belai surai tak tertata milik Juan. "Iya, anak Bunda pinter."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐦𝐞𝐫𝐭𝐚 [𝚆𝚊𝚝𝚊𝚗𝚊𝚋𝚎 𝙷𝚊𝚛𝚞𝚝𝚘] - DALAM PROSES PENERBITAN
FanficHana tahu suaminya telah tiada, telah pergi meninggalkan dirinya bersama sang buah hati dengan begitu dinginnya. Hana mulai gila, kepergian suaminya membuat dirinya terjebak dalam delusi tak berkesudahan yang terasa mencekik jiwanya. Hana tak bisa...