Hana tengah memindahkan Juan yang terlelap ke dalam kamar kala suara gedoran di pintu itu terdengar begitu nyaring. Jam pun telah menunjukkan pukul sepuluh malam, cukup larut untuk seseorang datang bertamu.
Hana berlari menuju pintu dengan terburu-buru. Takut jika gedoran itu dibiarkan maka akan membangunkan Juan, pasalnya bocah itu akan menjadi sangat rewel jika sudah terbangun di malam hari. Dan kala pintu telah terbuka ia dapati Jihoon tengah menangis tersedu-sedu di sana, duduk tepat di depan pintu rumahnya dengan tangan yang tak henti mengetuk pada pintu walau telah terbuka.
"Ji? Kamu kenapa?" Hana berjongkok tepat di hadapan Jihoon yang tak henti menangis. Mata pria dewasa itu tampak memerah dan wajahnya terlihat begitu berantakan oleh air mata. Rambut yang biasanya tertata rapi itu pun tampaknya tak disisir.
Secara tiba-tiba Jihoon meraih tubuh Hana untuk sebuah pelukan erat, sangat erat, membuat Hana yang kebingungan hanya diam mencerna apa yang tengah terjadi. Bisa Hana rasakan jika tubuh kawannya itu saat ini terasa begitu panas kala bersentuhan dengan kulitnya.
Berusaha Hana melepaskan pelukan Jihoon dan bangkit, namun tenaga Jihoon yang tengah menahannya terlampau kuat untuk bisa ia kalahkan. "Ji, masuk dulu. Gak enak yen diliat tetangga."
"Gimana bisa kamu peduli sama tetangga tapi sama aku kamu bener-bener acuh, Na." Hana bisa mendengarnya dengan jelas, jika kala mengatakan itu Jihoon tengah terisak.
"Gak peduli gimana?"
"Kamu jahat, Na." Ucapan Jihoon benar-benar terdengar ambigu di telinganya.
Hana kerahkan seluruh tenaga yang ia meiliki untuk melepas pelukan Jihoon, ia giring tubuh yang lebih besar darinya itu untuk masuk ke dalam rumah. Cukup lama mereka habiskan dengan hanya saling diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hana hanya memandang pada Jihoon yang tengah sibuk menangis seolah ingin menghabiskan seluruh stok air matanya.
Ini merupakan kali kedua Hana melihat Jihoon yang seperti ini. Menangis tersedu-sedu bak anak kecil yang kehilangan mainannya. Kali pertama itu adalah saat mendiang ibu Jihoon pergi untuk selamanya. Jihoon menangis semalaman dalam dekapan Hana yang hanya diam mendengarkan keluhannya seperti saat ini.
Ia ingat dengan jelas jika kala itu ia mendatangi Jihoon yang tengah mengurung diri dengan membawa satu kotak penuh kue kesukaan Jihoon yang ia buat sendiri. Tentu Jihoon awalnya menolak, namun dengan segala sifat keras kepala yang Hana punya akhirnya si empunya kamar itu mengizinkan dirinya masuk.
Kelopak mata Jihoon membengkak hingga hampir tak bisa ia melihat kedua bola mata itu, rambut dan pakaiannya berantakan hingga rambut halus yang awalnya hanya beberapa helai tipis itu kini terlihat tebal memenuhi pada bagian antara bibir dan hidung Jihoon.
Hana tak mengatakan apa pun, ia hanya duduk di samping Jihoon, menepuk pundak kawannya itu untuk waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya tangis Jihoon kembali pecah. Hanya dengan tepukan di bahu, hangat menjalar pada tiap nadi dan membuat segala keluh yang dipendam tersuarakan begitu saja.
Begitulah cara mereka saling menghibur. Entah kala Jihoon yang hancur, atau Hana yang membutuhkan pelipur. Mereka hanya akan memasang bahu dan telinga untuk satu sama lain. Tak saling mengomentari dan hanya terus mendengarkan hingga tak nampak lagi cahaya mentari.
"Aku gak ngerti apa sing bikin kamu semarah itu." Isakan masih terdengar jelas kala Jihoon kembali berucap.
"Aku bukanya marah, Ji. Aku cuman mau kamu mikirin diri kamu sendiri juga." Satu helaan napas membuat kata yang keluar dari bibir wanita itu terjeda. "Kalo kamu terus di sini sama aku, kamu gak bakal iso bahagia, Ji."
"Omong kosong." Manik keduanya kini beradu. Kedua bola mata milik Jihoon tampak begitu jelas merahnya membuat milik Hana turut merasa perihnya. "Tahu apa kamu, Na, soal bahagiaku. Kamu sendiri sing bilang, kalo cuman kita sing tau gimana kita bisa bahagia. Dan gini caraku bahagia."
Hana tak mengerti akan apa yang coba Jihoon sampaikan, atau mengenai hal yang membuat kawannya itu bahagia. Jadilah ia kembali hanya diam dan mendengarkan apa yang berusaha Jihoon katakan padanya.
"Kamu ngerti, kan, gimana aku sing hampir gila karena suka sama kamu? Kamu yo ngerti berapa lama aku nyimpen perasaan ini ke kamu. Selama bertahun-tahun aku bertahan di sini, Na, di samping kamu. Aku selalu abaiin sakit waktu liat kamu sing bahagia bareng suamimu itu. Tapi aku tetep ndek sini, Na. Aku gak pergi ke mana-mana.
"Karena cuman dengan terus di sini aku bisa bahagia, karena aku bisa liat kamu senyum, liat kamu ketawa dan baik-baik aja. Itu yang buat aku bahagia, Na."
Kepala Jihoon menggeleng rusuh dan jemarinya terulur untuk menggenggam telapak yang lebih kecil darinya itu. "Aku udah coba buat menghindar tapi aku gak bisa. Jauh dari kamu itu bikin aku makin sakit, aku gak bisa kalo kamu suruh pergi, Na. Tolong jangan suruh aku pergi."
Kini Jihoon merunduk dalam hingga rasanya akan berusujud di hadapan Hana, membuat Hana bingung setengah mati harus mengatakan apa di situasi seperti ini. "Kamu bisa suruh aku buat berhenti suka sama kamu tapi tolong jangan suruh aku pergi, Na. Gimana bisa aku hidup kayak gitu.."
Dulu, Haruto pernah mengatakan soal kepercayaan keluarganya terhadap reinkarnasi. Katanya sebelum kehidupan kita yang sekarang ini kita dulunya hidup dengan nasib yang bisa seratus delapan puluh derajat berbeda dengan kehidupan kita yang sekarang. Pun apa yang kita lakukan di masa lalu bisa menentukan takdir kita di masa kini hingga di masa depan.
Jika memanglah reinkarnasi itu ada, Hana bertanya-tanya bagaimana kehidupannya dulu, dan bagaimana ia menjalani kehidupannya dulu. Hingga di kehidupan yang ia jalani saat ini ia dilimpahi dengan begitu banyak keberuntungan yang menyelingi. Bagaimana ia yang dengan beruntungnya bisa dicintai dengan begitu hebat oleh dua orang sekaligus, yang cintanya begitu tulus mengalahkan apa pun yang ada di dunia. Bahkan dengan ia yang tak berbuat apa pun untuk mencari pun mendapatkannya, cinta datang begitu saja memanjakan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐦𝐞𝐫𝐭𝐚 [𝚆𝚊𝚝𝚊𝚗𝚊𝚋𝚎 𝙷𝚊𝚛𝚞𝚝𝚘] - DALAM PROSES PENERBITAN
FanfictionHana tahu suaminya telah tiada, telah pergi meninggalkan dirinya bersama sang buah hati dengan begitu dinginnya. Hana mulai gila, kepergian suaminya membuat dirinya terjebak dalam delusi tak berkesudahan yang terasa mencekik jiwanya. Hana tak bisa...