o.5 chapter

34 6 0
                                    

"Bundaa!! Bangun Bundaa! Ayoo bangun!!!"

Hana melenguh panjang dalam tidurnya, ia paksakan membuka mata kala tubuhnya menjadi alat ganti trampolin oleh si pangeran kecil.

"Bunda bangun!! Sekarang sudah siang!!"

Dengan terpaksa Hana bangkit dari tidurnya walau separuh nyawa masih melayang entah ke mana. Sakit ia rasa di seluruh tubuh, tak luput dengan pusing juga perih di mata. Tidurnya benar-benar tak nyenyak semalam.

"Juan ada apa?"

"Hari ini hari pertama masuk sekolah, Bunda! Kalo Juan telat gimana?!"

Ini merupakan hari pertama Juan masuk taman kanak-kanak, dan Hana benar-benar melupakannya. Rasa sakit yang menggerus dirinya sejak malam membuat dirinya lupa akan segala hal. Bahkan hari pertama putra kecilnya bersekolah.

"Bundaa ayo cepat bangunn."

Beribu kecupan bocah itu berikan di wajah sang ibunda, berharap nyawa sang ibu dapat segera terkumpul dan mau lepas dari tempat tidur. Ia benar-benar harus bersiap sekarang!

Namun bukanya beranjak dari ranjang Hana justru mengulas senyum di wajah bantalnya sembari kembali menutup mata. Membuat sang putra kesal bukan main.

"Iihh Bundaaa!!"

"Cium sekali lagi, terus nanti Bunda bangun."

Bocah itu mendengus kesal sembari mendelik tak suka pada ibunya. Terlihat begitu menggemaskan untuk Hana terlebih dengan pipi penuh lemak itu.

"Gak mau, nih?"

"Bunda nanti bohong!"

"Enggak sayang, Bunda nggak bohong."

"Awas, ya, kalau bohong! Nanti tak gigit!"

"Hahaha, iyo iyoo. Ayo cium."

Satu kecupan di pipi kembali diberikan. Membuat kedua kelopak itu terbuka kian lebar dengan senyuman indahnya yang tak luput ditunjukkan. Namun bukannya turun Hana justru mendekap erat tubuh kecil Juan, mengusak surai putra semata wayangnya itu merasa begitu gemas. Membuat bocah lima tahun itu memberontak tak karuan guna melepaskan diri dari dekapan sang ibunda.

"Bunda bau! Cepat mandi!"

"Hahaha, oke, oke."

Kini ibu tunggal itu benar-benar bangun dari tidurnya. Berlalu pergi ke kamar mandi lalu kembali dan turut membawa serta Juan bersamanya.

"Ayo, Dek."

"Bunda, Bunda! Bunda pakai ini ya, Bunda cantik sekali kalau pakai ini! Bunda yang paling cantik!"

Hana diam, lama ia hanya menatap pada apa yang ada di genggaman Juan. Sebuah dress berwarna coklat muda dengan pita di bagian pinggangnya, begitu kontras dengan kulitnya yang sedikit gelap. Baju itu merupakan pemberian Haruto pada hari jadi pernikahan mereka yang pertama. Hadiah yang ia tukar hanya dengan semangkuk rawon buatannya.

Untuk beberapa alasan Hana mengakui jika Juan memanglah putra dari suaminya, jika Juan memanglah jiplakan dari sang suami tak hanya dari mata pun warna kulit. Terbukti dari selera keduanya yang sama persis. Mulai dari makanan kesukaan, gaya berjalan pun cara mereka bicara. Hingga bagaimana persisnya Juan yang begitu memujanya sama seperti Haruto.

"Woahh bajunya jadi keliatan seribu kali lebih cantik kalau kamu yang pakai. Ah, enggak! Bajunya bahkan kalah cantik sama kamu!"

"Apa sehh gombal banget!"

"Beneran! Kamu cantik banget!"

Haruto berjalan mendekat, memeluk Hana dengan begitu posesif seakan jika ia lepaskan maka sang istri akan pergi diambil orang. Benar-benar kekanakan.

Namun tentu saja bukan tanpa alasan, lantaran wajah cantik sang istri tentu dapat memikat hati siapa pun yang melihatnya. Bahkan ia berani bertaruh, seorang gay sekali pun jika melihatnya pasti akan langsung jatuh hati pada parasnya. Karena memang secantik itulah sang istri di matanya.

"Kita gak usah jadi pergi, ya, hari ini."

"Kenapa? Bukanya kamu yang ngerengek kayak bocah ya minta pergi?"

"Aku gak mau bagi-bagi kecantikan istriku ini sama orang lain. Yadaa yo~"

Hana menyembunyikan wajahnya pada dada bidang sang suami, merasa malu lantaran semburat merah pasti begitu kentara di wajahnya, berkat gombalan picisan yang pria berdarah Jepang itu buat.

Pelukan keduanya kian erat dan terasa begitu menghangatkan, ribuan kupu-kupu pun kini telah ramai berterbangan dalam dada, membuat bahagia kian terasa memenuhi hingga ujung kepala.

Cukup lama, dan sangat lama. Keduanya hanya diam dengan tubuh saling merengkuh, enggan melepaskan walau dering ponsel terus mengganggu. Mereka hanya ingin terus saling merengkuh seperti ini, saling menyalurkan hangat juga cinta walau hanya lewat sebuah pelukan.

Hari ini merupakan musim gugur di Jepang. Dedaunan yang berterbangan di luar sana tentu layak dinikmati sembari menyantap beberapa potong roti. Namun tak ingin lagi mereka menikmati keindahan daun juga bunga yang tengah berguguran menyambut musim dingin. Karena bunga yang beribu kali indahnya tengah bermerkaran di dalam sini.

Jika ini merupakan sebuah klip adegan dalam drama, maka sebuah lagu romantis akan diputar setelah satu ciuman hangat mereka lakukan. Dan dedaunan yang berterbangan di luar sana akan menerobos masuk melalui jendela yang sengaja dibiarkan terbuka.

Atau mungkin kamera akan menyorot pada wajah keduanya yang tampak begitu bahagia. Wajah memerah keduanya yang menahan sensasi mendebarkan kala kupu-kupu kini menerjang tak hanya pada perut.

Tanpa bicara, tanpa saling berkata. Kasih sayang memenuhi keduanya. Hanya sebuah pelukan, hanya sebuah ciuman singkat. Namun cinta yang begitu besar berhasil disalurkan walau tanpa sedikit pun suara.

Karena begitulah cinta. Kian besar yang kau rasa, kian hebat itu bisa mencapai pada hati orang yang kau tuju. Tanpa mengeluarkan kata, cinta dapat sampai dengan sendirinya, walau hanya melalui tatapan mata sekali pun. Karena pada akhirnya, cinta pasti akan menemukan rumahnya. Rumah yang akan ia tempati untuk saat ini, esok, dan selamanya.

Karena cinta, memang begitu indahnya.

Karena cinta, memang begitu indahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝐀𝐦𝐞𝐫𝐭𝐚 [𝚆𝚊𝚝𝚊𝚗𝚊𝚋𝚎 𝙷𝚊𝚛𝚞𝚝𝚘] - DALAM PROSES PENERBITANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang