Tangan kering Hana tampaknya tak sekali pun kenal lelah dalam melakukan pekerjaannya. Sang pemilik pun rasanya tak ingin memberi istirahat pada kedua tangannya yang bekerja terlalu keras sejak pagi. Selalu ada yang ia kerjakan, selalu ada yang ia sentuh, selalu ada yang ia lakukan. Pun dengan kakinya yang walau begitu pegal tetap ia paksakan mondar-mandir.
Ia lelah, sangat lelah, namun tak ingin ia berhenti. Karena saat ia tengah beristirahat dan tak melakukan apa pun delusi itu kembali datang. Sang suami yang telah lama pergi itu kembali datang begitu saja padanya, mempermainkan hatinya, membuat rasa sakit itu kembali mendera hingga sesak terasa tak berkesudahan.
"Bunda!"
Tak ia hiraukan panggilan si kecil dan terus ia fokus pada pekerjaan di tangan. Setelah puas dengan membersihkan ruang tamu ia akan beranjak membersihkan kamar tidur, lalu ia akan pergi ke depan membersihkan halaman, setelah itu gudang, lalu kamar mandi dan dapur. Setelah tak ada lagi yang perlu dibersihkan ia akan memasak, lalu setelahnya kembali membersihkan dapur.
Sama sekali ia tak melirik pada putra semata wayangnya yang tampak begitu bosan melihatnya sibuk mondar-mandir sendiri. Ia hanya tak ingin berhenti, ia hanya ingin melakukan apa pun agar bisa melupakan kegilaannya walau hanya sejenak. Dan hanya ini yang bisa ia lakukan.
"Mbak?"
Hana terkejut bukan main kala seseorang tiba-tiba menyentuh pundaknya.
"Asa? Kamu kapan datengnya?"
Yang dipanggil Asa menghela napas pendek lalu mengulas senyum tipis.
"Aku dari tadi panggilin Bunda, tapi Bunda sibuk terus sampek enggak denger."
Mata sayu Hana mengerjap, sama sekali ia tak menyadari kehadiran Asa, bahkan suara ketukan pintu atau bunyi bel sama sekali tak terdengar di telinganya.
"Kamu sakit, Mbak?"
"Eh, enggak kok, gakpapa. Ada apa kok tiba-tiba kesini gak ngabarin dulu?"
Asa terseyum, ia ambil alih lap kotor yang ada di genggaman Hana, menariknya dan memintanya duduk di sofa agar dapat berbincang dengan santai. Begitu juga dengan Juan yang telah mengambil duduk di samping sang ibunda.
Wanita itu lalu mengambil segelas air dan memberikannya kepada si tuan rumah yang tampak begitu tak sehat.
"Aku mau sampein kabar gembira, Mbak, tapi nggak enak ngomongnya kalo di telepon jadi kesini."
"Kabar apa?"
Wanita yang lebih muda dua tahun darinya itu mengulas senyum cantik, wajahnya tersipu malu dan begitu jelas tampak semburat merah mulai menjalar di pipi. Membuat Hana kian penasaran gerangan apakah yang begitu menggembirakan.
"Aku hamil, Mbak."
Kini raut wajah bahagia tak bisa tak ditunjukkan oleh Hana. Mata yang tampak mati beberapa saat lalu pun kini terlihat berbinar, senyumnya merekah secara otomatis dan napasnya menggebu saking bahagianya. Hana meraih tangan Asa, menggenggamnya erat sembari mengucapkan beribu ucapan selamat juga ungkapan bahagianya.
"Walaah, selamat Sa! Udah berapa bulan?"
"Dua bulan, Mbak. Kemaren aku sama Mas Jaehyuk periksa dan katanya aku positif udah dua bulan ini."
"Jadi kamu nggak tau, ya, kalo lagi hamil."
"Iya, Mbak, aku baru tau kemaren ini."
"Ya, ampun, Sa. Akhirnya-"
"Tante hamil?" Itu Juan, yang sedari tadi diacuhkan.
Asa tersenyum menatap pada Juan, ia cubit pipi gembil bocah itu sebelum menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐦𝐞𝐫𝐭𝐚 [𝚆𝚊𝚝𝚊𝚗𝚊𝚋𝚎 𝙷𝚊𝚛𝚞𝚝𝚘] - DALAM PROSES PENERBITAN
FanfictionHana tahu suaminya telah tiada, telah pergi meninggalkan dirinya bersama sang buah hati dengan begitu dinginnya. Hana mulai gila, kepergian suaminya membuat dirinya terjebak dalam delusi tak berkesudahan yang terasa mencekik jiwanya. Hana tak bisa...