Hana mengulas senyum kala mendapati sang putra semata wayangnya yang tengah tertidur pulas di atas sofa, dengan posisi kaki yang berada di atas sementara kepalanya menjuntai ke bawah.
Tumpukan selimut yang ada di genggaman ia taruh di atas meja, berganti dengan tubuh kecil Juan yang ia gendong guna memindahkannya masuk ke dalam kamar. Ia sempatkan memberikan kecupan ringan di kening sebelum mematikan lampu dan meninggalkan kamar Juan. Dan setelahnya Hana kembali pada pekerjaannya yang tertunda, dengan perlahan dan susah payah ia masukkan tumpukan selimut ke dalam lemari.
"Oyasuminasai~"
Sontak segala pergerakan Hana terhenti, tubuhnya membeku dan seluruh selimut yang ada di tangan jatuh tak tertata di lantai. Ia tundukkan kepala sedalam mungkin, enggan ia menengadah dan beradu pandang dengan sosok yang ia yakini tengah berada tepat di belakangnya.
Cukup lama, sangat lama ia mempertahankan posisi itu. Rasa sakit lantaran pegal di kaki pun ia hiraukan, lantaran sakit di kaki itu sama sekali tak sebanding dengan sakit meremas yang ia rasa di dada. Sakit yang begitu menyiksa hingga rasanya akan meledakkan dadanya.
Hingga cukup keberanian berhasil ia kumpulkan hanya sekadar untuk menoleh, tak ada apa pun di sana, hanya ada dirinya yang berdiri seperti orang bodoh dengan tangis yang entah sejak kapan telah membanjiri. Hana kembali pada apa yang dikerjakan. Terburu-buru ia kembali merapikan selimut yang jatuh berantakan di lantai dan mengemasnya ke dalam lemari.
Lalu dengan cepat wanita itu melangkah menuju ranjang, ia baringkan tubuh di sana dan menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya hingga yang tampak tersisa hanya helaian rambutnya. Berusaha ia menahan tangis sembari meringkuk di bawah selimut, namun rasa panasnya tak henti menerjang hingga seolah akan membakar mata, membuatnya terus menangis walau tak ingin.
"Kamu mau nikah lagi?"
Lagi, suara berat yang memecah keneningan malam itu kembali membuat jantungnya seolah akan meledak. Kali ini coba ia buka matanya, dengan tangan bergetar ia sibak selimut yang menutupi wajah.
Dia ada di sana. Sosok yang ia rindukan dengan sangat hingga menjadi gila itu ada di sana. Tengah duduk tepat di hadapan sembari bersedekap dada dan menatap kesal padanya.
"Gak boleh. Kamu tahu kan kalau aku itu tidak suka digantikan apalagi untuk mengisi posisiku sebagai suami kamu. Gak boleh."
Mati-matian ia berusaha menahan isak tangis. Ia gigit selimut sekuat yang ia bisa, matanya terpejam rapat dan pernapasannya benar-benar terganggu. Rasa pening pun menerjang kepala tanpa kenal belas kasih, seolah rasa sakit itu tak akan mereda selain ia mati.
Telah banyak musim yang berhasil ia lewati seorang diri, telah banyak tahun-tahun yang berlalu tanpa ia yang memandang wajah itu. Telah banyak tahun yang berlalu, dan semuanya baik-baik saja. Namun mengapa sekarang sosok itu harus terus mengganggunya, harus terus mengusiknya bahkan di dalam mimpi sekali pun. Mengapa, Haruto terus menyiksanya.
"Aku serius, jangan pernah berani dekat-dekat sama laki-laki lain selain aku."
"Kalau sampai ketahuan aku sendiri yang bakal bunuh kamu. I'll kill you!! Understand?!"
"Emangnya kamu bisa hidup tanpa aku?"
Benar. Memangnya kau bisa hidup tanpa istrimu, Haruto-san? Jika kala terbangun di pagi hari dan tak menemukan Hana di sampingmu saja kau sudah tantrum setengah mati mencarinya.
"Ya, sudah, kalau gitu aku bakal bunuh laki-laki itu."
"Terus nanti kamu bakal di penjara, dan gak bisa hidup bareng aku lagi. Sama aja, dong."
Haruto menghentakkan kakinya begitu kesal. Selalu saja seperti ini, tak pernah sekali pun ia berhasil memenangkan perdebatan antara dirinya dan sang istri, terlepas dari siapa pun yang salah.
Mungkin memang benar adanya, jika wanita selalu benar.
Hana yang merasa jika sang suami tak lagi berada di sampingnya berhenti melangkahkan kaki, ia putar tubuhnya dan mendapati Haruto ada di sana, terdiam menatap dirinya dengan air mata yang entah sejak kapan telah membanjiri wajah garangnya.
Satu hembusan napas ia berikan sebelum mengulas senyum dan berjalan menghampiri sang suami. Ia buat nada bicaranya selembut mungkin sembari jemarinya menggenggam pada tangan besar yang lebih tua.
"Kamu ini bodo banget, ya, baka."
"Maksudnya?"
"Iya, baka. Gimana bisa aku ngelirik cowok lain kalo suamiku aja orang yang paling ganteng sedunia."
Mendengar pujian yang Hana berikan membuat senyumnya mengembang secara otomatis. Tak bisa ia sembunyikan semburat bahagia berkat satu pujian picisan itu. Tak dapat pula ia mengusir ribuan kupu-kupu yang mendadak berterbangan di dalam perutnya.
Dengan tiba-tiba Haruto meraih tubuh Hana dan mendekapnya seerat mungkin seolah tak ingin melepasnya, bahkan kala cubitan ia dapat di pinggang tak sekali pun pelukan itu ia kendurkan. Ia hanya ingin mendekap sang istri seperti ini selama sisa hidupnya, tanpa melepasnya barang sedetik pun, tanpa melonggarkannya barang sesenti pun.
"Mass malu diliatin orang-orang."
"Biar saja, biar gak ada yang bisa ambil kamu dari aku."
Keduanya tertawa, kini Hana yang awalnya menolak pun membalas dekapan itu.
Hanya untuk sebentar saja, sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah, sebentar saja biarkan keduanya saling merengkuh seolah tak ada lagi hari esok, walau di tengah keramaian.
"Aishiteru."
"I love you, more."
Hari ini dedaunan berjatuhan tepat di atas kepala, seolah alam turut berbahagia untuk sepasang kekasih itu. Memberikan restunya agar dua orang yang saling memadu kasih itu selalu diberikan kebahagiaan yang abadi bahkan di kehidupan setelah mati.
Namun rupanya takdir berkata lain, rupanya takdir tak satu pendapat dengan alam. Lantaran seperti hukum yang takdir punya, pasal tak ada satu hal pun yang abadi. Lantaran sama seperti dedaunan yang pada akhirnya akan berakhir menjadi sampah, segala kisah membahagiakan yang mereka rangkai hari ini pun suatu saat hanya akan menjadi sebuah bongkahan kenangan yang nantinya pun akan terlupakan. Bahkan sebelum ajal menjemput.
Namun entah seberapa keras ia mencoba, ia tak bisa, ia tak pernah bisa. Entah melupakan segala hal yang merupakan masa lalu, pun hanya sekadar menghentikan air mata yang tak henti mengalir.
Hujan deras yang tak bosan mengguyur bumi sedari tadi pun kian menambah derita yang meremasnya. Ia membenci hujan, ia begitu membenci hujan. Lantaran hujan telah merenggut orang yang paling ia cintai di muka bumi ini. Lantaran hujan telah merampas segala bahagianya hingga kandas tak bersisa. Lantaran hujan telah menghancurkannya hingga tak lagi ia bisa berdiri dengan tegak.
Lantaran kapan pun ia melihat hujan, segala kenangan buruk selepas kepergian sang suami kala itu akan kembali memenuhi memori. Membuatnya harus kembali merasakan sakit yang beribu kali kebih menghancurkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐦𝐞𝐫𝐭𝐚 [𝚆𝚊𝚝𝚊𝚗𝚊𝚋𝚎 𝙷𝚊𝚛𝚞𝚝𝚘] - DALAM PROSES PENERBITAN
FanfictionHana tahu suaminya telah tiada, telah pergi meninggalkan dirinya bersama sang buah hati dengan begitu dinginnya. Hana mulai gila, kepergian suaminya membuat dirinya terjebak dalam delusi tak berkesudahan yang terasa mencekik jiwanya. Hana tak bisa...