o.12 chapter

25 6 3
                                    

Jalanan kota cukup padat walau jam masih menunjukkan waktu kerja. Suara klakson pun teriakan orang-orang yang tak sabaran terdengar bersahutan di mana-mana.

"Maaf, yo, Mbak, padahal saya lewat sini soalnya biasanya gak macet."

Suara pengemudi taksi online yang Hana tumpangi itu terdengar tak enak lantaran perjalanan sang penumpang yang terganggu.

"Iya, Mas, gak apa."

Cukup lama mereka terjebak hingga mereka sampai pada ujung kemacetan. Banyak orang berkerumun, di antaranya memakai seragam polisi pun loreng tentara. Mobil polisi dan ambulans pun tampak berjajar di sana.

"Ternyata ada kecelakaan, toh."

Hana tertegun, karena di balik jendela mobil tak jauh dari sana ada sebuah mobil lain yang nampak terbalik menghalangi jalan. Darah pun tampak menggenang di aspal mengelilingi sesuatu yang ditutupi oleh kain.

Rasa sesak tiba-tiba kembali menghampiri dadanya, ingatan pasal kejadian enam tahun silam membuat hatinya kian remuk. Kejadian yang selalu ingin ia lupakan, kejadian yang mendatangkan derita tak berkesudahan dalam dirinya.

"Korbannya meninggal di tempat katanya, kasihan, ya, Mbak."

'Kasihan istrinya, denger-denger lagi hamil.'

Ponsel yang ada di tangan ia genggam begitu erat hingga tampak kukunya yang memutih. Wajah Hana pun begitu merah menahan air mata yang siap tumpah kapan saja. Mulai ia menghitung dalam hati, berusaha menyingkirkan segala pikiran pasal kejadian dulu. Namun segala usahanya sia-sia. Lantaran ingatan tentang kejadian kala itu secara otomatis terputar bak kaset rusak di otaknya.

"Nak, nanti kita kagetin Ayah, ya."

Senyum manis tersungging di wajah cantik Hana yang tampak begitu hidup. Telapaknya perlahan bergerak untuk mengusap perut datarnya sembari terus berbicara pada diri sendiri.

Cukup lama ia menyalurkan bahagia dengan berdiri di sana, berangan tentang masa depan yang begitu dinanti.

"Ah, gak sabar banget."

Hana beranjak, menjeda dahulu acara berangannya dan kembali mengerjakan pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ia buat. Selama seharian penuh Hana habiskan dengan pekerjaan rumah. Mulai dari bersih-bersih, memasak, hingga kembali bersih-bersih. Ia bahkan membeli balon dan bunga sebagai hias ruangan dan memasak semua menu kesukaan sang suami.

Tak ada sedikit pun celah yang terlewat, tiap sudut ia bersihkan dengan begitu teliti. Ia pastikan tak ada satu pun duri pada ikan yang ia masak, pun tak ada sehelai rambut pun yang jatuh kala ia memasak. Semua telah tertata rapi, ia bahkan memoles diri dan memakai baju terbaik yang ia miliki.

Demi memberikan sebuah kejutan pasal sebuah kabar terlampau bahagia.

Ia duduk manis di sofa, senyumnya tak sekali pun luntur membayangkan bagaimana raut bahagia sang suami kala pulang nanti. Betapa bahagianya sang suami kala mendengar kabar tentang kehidupan baru yang amat dinanti. Atau bagaimana bahagianya mereka kala anak pertama telah lahir.

Hana tak sabar akan hari-hari bahagia yang telah menanti. Ia tak sabar mendengar suara tangis anaknya kala terbangun di tengah malam. Ia tak sabar mendengar anaknya memanggilnya ibu untuk kali pertama. Atau ia yang harus dengan kuat menerima jika sang anak ingin berkuliah di luar kota dan mulai hidup mandiri. Hingga sang anak yang memakai toga kebanggan di hari wisudanya. Pun sang anak yang tiba-tiba pulang dan meminta restunya untuk menikah.

Segala hari indah itu akan ia lewati bersama sang suami. Bahkan kala ia harus menangis di hari yang begitu berat, semua akan ia lalui sembari menggenggam tangan sang suami.

Namun sayang, lantaran segala angan akan hidup bahagia itu harus kandas tak bersisa. Lantaran setelah berjam-jam ia menanti, setelah sehari penuh dia mempersiapkan diri, kabar duka lebih dulu mencapai telinga sebelum ia sempat berkata.

Berlari ia tanpa alas kaki, tak peduli akan kerikil yang terus menyakiti, atau deras hujan yang tak henti membasahi, ia terus berlari. Menuju sang suami yang katanya tengah bertarung dengan mati.

Tak henti ia menyumpah pada mereka yang melarangnya masuk menemui suaminya. Ia hanya ingin memastikan, jika yang ada di dalam sana tidaklah mungkin sang suami. Haruto tak mungkin mati, Haruto tak mungkin pergi. Tak henti ia berusaha meyakinkan diri, jika Haruto, suaminya, saat ini tengah berada di jalan menuju rumah dan bukan yang ada di balik pintu sana.

Namun segala pertahanan yang tersisa kian hancur kala maniknya menangkap wajah pucat itu. Tengah terbaring lemas tanpa pergerakan sedikit pun. Sekujur tubuh Haruto penuh akan luka, darah pun tampak masih menetes dari kulitnya yang terbuka.

Tangis wanita itu kian pecah kala dirasa dingin saat jemarinya menyentuh kulit Haruto. Tak henti ia berteriak memanggil nama sang suami, tak henti pula ia mengguncang tubuh sang suami. Berharap jika pria itu akan membuka mata dan menenangkannya yang tak henti menangis.

Namun Haruto tak kunjung sadar, Haruto tak kunjung membalas genggaman tangannya. Haruto yang sebelumnya selalu tampak hangat kini terasa amat dingin.

"Nduk.. Uwis Nduk.."

Sang ibunda pun tak kuasa menahan tangisnya, melihat bagimana putri semata wayangnya yang tampak begitu hancur. Bahkan hingga pemakaman berakhir, tangis pilu itu tak kunjung berhenti. Hatinya begitu hancur, jiwanya pun serasa diambil dalam satu kedipan mata. Tak ada lagi tawa, tak ada lagi kata bahagia.

Tak lagi ia sangup berdiri, tak lagi ia sanggup melangkah. Hanya keinginan untuk mati yang terus menghantui. Tak ada lagi gunanya hidup di dunia tanpa sang kekasih, tak ada lagi keinginannya menginjak dunia yang tanpa ada sang terkasih di dalamnya.

Pusat dari hidupnya telah diambil, cintanya telah diambil.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝐀𝐦𝐞𝐫𝐭𝐚 [𝚆𝚊𝚝𝚊𝚗𝚊𝚋𝚎 𝙷𝚊𝚛𝚞𝚝𝚘] - DALAM PROSES PENERBITANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang