11 - Cahaya Senja

61 25 4
                                    

Hingga sampai sore hari Anin masih belum juga keluar dari kamar setelah kembali ke sekolah di antar oleh kakak keduanya itu. Dari dalam kamar yang redup, cahaya senja merambat masuk melalui jendela dengan lembut, menyulut warna-warna hangat yang meluk setiap sudut ruangan.

Udara terasa sejuk dan menyejukkan, memberikan suasana tenang dan damai. Di pojok ruangan, seorang garis duduk di depan jendela, rambutnya tergerai dengan lembut, menangkap keindahan senja yang mempesona di langit.

Wajahnya tercermin dalam cahaya senja, menciptakan aura keanggunan. Suasana kamar terasa penuh dengan kedamaian, dipenuhi dengan aroma harum lilin yang terbakar perlahan, menciptakan momen mendalam dan indah.

Buku yang berada di tangan dapat menemani sore dengan melihat suasana senja yang tenang itu. Bibir tipis milik gadis itu mengulum senyum saat membaca adegan romantis pada buku yang ia baca.

Seorang laki-laki tegap berdiri di depan kamar Anin, bayangan tubuhnya terpantul di permukaan kayu pintu. Pakaian tidur bermotif antariksa terbalut pada tubuh tegapnya. Dengan perlahan, ia membuka pintu kamar itu yang tidak terkunci.

"Harum banget, tumbenan." Laki-laki yang terbalut pakaian tidur itu menghampiri gadisnya yang sedang duduk di depan jendela dengan buku menjadi teman setianya.

Gadis yang tadi asyik membaca akhirnya menoleh kepada sumber suara lantas ia tersenyum melihat ke arah kakak keduanya sebagai bentuk sapaan.

"Ada apa?" tanyanya, melihat pakaian yang dipakai oleh Izaz mampu membuatnya tertawa pelan. Pakaian tidur bermotif antariksa adalah kado yang ia berikan kepada Izaz saat berulang tahun yang ke-17.

Laki-laki itu memutar bola matanya malas dengan gadisnya yang tertawa melihatnya memakai pakaian tidur hadiah dari Anin.

"Gak usah ketawa, deh, gak lucu," ujar laki-laki tersebut sebelum akhirnya ikut duduk di samping Anin.

Akhirnya kedua kakak beradik itu menikmati senja bersama dengan kegiatan masing-masing. Terdengar sunyi karena tidak ada dari mereka yang hendak membuka suara, hanya terdapat suara jam yang menghasilkan dentingan halus dan merdu menyatu dengan suasana senja yang tenang dan damai.

Di luar, di kejauhan, terdengar suara anak-anak komplek yang masih bermain dengan semangat, namun suaranya menjadi lebih pelan dan halus seiring berakhirnya hari. Langkah-langkah mereka yang riang dan teriakan kecil yang penuh kegembiraan terdengar samar-samar di udara, seperti serangkai melodi kecil yang menyatu dengan gemerlap senja yang memancar di langit.

Namun, kesunyian itu terputus ketika suara seorang ibu terdengar memanggil nama mereka dari balik kamar.

"Anin! Izaz!"

Suara Yunita memecahkan keheningan senja, anak-anak itu memalingkan pandangan dari aktivitas masing-masing, tersenyum lembut, dan kemudian bangkit dari tempat duduk mereka. Mereka melangkahkan menuju sang ibu yang masih memanggil nama mereka.

"Ada apa, Bu? Kok manggil kita?" tanya anak bungsu setelah membuka pintu kamar lebih lebar yang menampilkan sosok ibunya.

Wanita berusia hampir kepala empat itu menggeleng frustasi, karena melihat anak keduanya yang berdiri di belakang adiknya dengan wajah tidak berdosa. Sambil menahan amarah Yunita langsung menuntun mereka untuk menuju taman belakang yang di sana sudah ada ayah dan Shindu.

Walaupun begitu, sebagai seorang ibu Yunita tentu masih memberikan wejangan kepada Izaz. Pasalnya ia menyuruh anaknya itu untuk memanggil Anin agar segera turun dan berkumpul di halaman belakang. Namun, selang beberapa menit mereka tidak kunjung menampakkan diri dan kemudian Yunita lah yang turun tangan.

"Halo anak gadis ayah," sapa seorang pria sambil memeluk putri bungsunya dengan hangat dan kasih sayang.

"Ayah bawa oleh-oleh?" tanya gadis itu langsung pada intinya. Pria itu hanya terkekeh kemudian mengangguk sambil menunjukkan ke arah atas meja yang sudah di penuhi dengan aneka makanan.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang