20 - Momen Manis

29 7 0
                                    

Ini sudah minggu kedua tanpa adanya sosok ibu yang biasa mengayomi anak-anaknya pada lagi hari. Menyiapkan makanan ataupun membangunkan anak-anak dari tidurnya.

Selama dua minggu itu, Anin menjadi lebih pendiam tidak seperti biasanya yang lebih banyak bertingkah. Baskara, Shindu, dan Izaz itu sudah tahu jika perubahan gadis itu.

Saat kedua kakak kembarnya mengajak berjalan-jalan Anin langsung menolaknya tanpa memberi alasan yang jelas. Gak dulu, Anin mau istirahat. Itu adalah kalimat andalan Anin saat menolak untuk mengajak jalan.

Tidak hanya itu, Nana juga menyadari perubahan teman sebangkunya. Beberapa kali Nana menawarkan diri untuk menjadi tempat keluh kesah Anin tetapi gadis itu tampak tidak tertarik.

Sepulang sekolah Anin berniat untuk pergi ke rumah sakit untuk menemani sang ibu. Kegiatannya selama dua minggu memang seperti itu, pergi ke Rumah Sakit untuk menemani Yunita.

Namun, Anin menyempatkan diri untuk mampir ke kedai kopi yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan rumah sakit. Matanya menangkap sosok yang ia kenali sedang membuat kopi.

"Halo, ke sini lagi?" tanya Marka menghampiri Anin yang duduk di kursi dekat jendela.

Beberapa hari terakhir Anin setelah pulang sekolah memang berkunjung ke kafe ini hanya sekedar menghirup aroma khas kafe ini serta menikmati vanilla latte yang akhir-akhir ini menjadi kesukaannya.

"Iyaa, lagi pengin ngadem."

"Kalau mau ngadem mau jangan di sini, Neng. Di deket AC biar lebih dingin," ujar Marka, terdengar lawakan garing namun mampu membuat Anin tertawa.

Selain lawakan garing itu, suara tawa Marka juga membuatnya tertawa.

"Oke, oke, udah jangan ketawa mulu. Bisa-bisa perut gue jadi sixpack karena kebanyakan ketawa."

Anin memukul pelan lengan Marka. "Lo duluan yang bikin tawa lo nular ke gue."

"Sorry, btw lo mau vanilla latte?" tawar Marka diangguki oleh Anin dengan sangat antusiasme. "Ya udah, gue bikin dulu."

Hendak beranjak dari duduknya Anin mencekal pergelangan Marka agar tidak pergi lebih dahulu. Sebelum mengeluarkan kata Anin terlihat mengulas senyum bingung dengan rangkaian kalimat yang akan diucapkan.

Marka mengangkat salah satu untuk bertanya. "Mau sama macaron? Atau apa?"

Anin menggeleng pelan dengan pandangannya ia alihkan menjadi ke bawah. "Anu, apa ya ...."

"Boleh ikutan bikin vanilla latte, enggak?" tanya Anin. Saat Marka akan menjawab pertanyaan itu, Anin lebih dulu memotong pembicaraan. "Tapi kalau gak boleh, gak apa-apa, kok."

Marka mengulas senyum tipis dengan menunjukkan ekspresi memikirkan pertimbangan tersebut. Ekspresinya saat ini membuat Anin ragu karena tidak akan memperbolehkan membuat vanilla latte bersama.

"Ayo," ajaknya.

"Seriusan boleh?"

Marka mengangguk. "Kenapa enggak?"

Mereka berdua beranjak dari duduknya untuk menuju coffe bar. Marka membuka pintu dengan pelan untuk mempersilahkan Anin masuk terlebih dahulu. Tidak lupa juga Anin mengenakan apron untuk menghindari percikan atau tumpahan seperti air.

Marka dan Anin memulai dengan menyiapkan espresso segar dengan mesin espresso, Marka memastikan konsistensi dan kualitas rasa. Kemudian menuangkan susu segar ke dalam sebuah pitcher stainless steel, lalu menguapkan susu tersebut dengan sempurna menghasilkan tekstur yang lembut.

Anin mencoba untuk mencampurkan sirup vanilla dengan espresso dan menuangkan susu steamed secara perlahan untuk menciptakan lapisan busa yang kaya dan menggugah selera. Dengan sentuhan akhir, Anin menghias permukaan latte dengan serbuk cokelat untuk menyempurnakan presentasinya.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang