24 - TBI

26 2 0
                                    

"Mas!" Anin sekarang kesal karena tidak ada respon apapun daritadi. Sejujurnya dia penasaran karena wajah Shindu yang lebam itu.

"Lo kenapa sih? Kak Izaz juga mana? Biasanya barengan sama lo—Mas! Lo dengerin gue ngomong gak sih?!" Anin merasa kesal lantaran Shindu tidak mendengarkan apa yang dia ucapkan tadi.

"Diem. Cepet mau pulang enggak?"

Anin berdecak kesal kemudian menduduki kursi penumpang dengan wajah yang kusut. Sudah dibuat lelah karena menunggu sekarang malahan mendapatkan rasa penasaran atas luka lebam yang di wajah Shindu.

Tidak ingin berlama-lama di parkiran Anin menuruti kemauan Shindu. Selama di perjalanan pulang ke rumah mereka berdua tidak membuka suara sama sekali dan menikmati perjalanan masing-masing. Motor scoppy milik Shindu kini sudah terparkir di halaman rumah menyisahkan kesunyian yang ada.

Anin langsung turun dari motor kemudian meninggalkan kakaknya di sana seorang diri, pikirannya sekarang ingin cepat-cepat bergelut dengan kasur. Tidak lupa Anin membuka pintu sembari mengucapkan salam, ia disambut dengan kesunyian dikarenakan kedua orang tuanya sedang pergi sejak tadi pagi.

"Mas, kak Izaz udah pulang belum? Kok sepi banget, biasanya dia udah nangkring di depan televisi," ujar Anin saat hendak membuka pintu kamarnya.

"Rapat mungkin."

Setelah mengucapkan dua patah kata pintu kamar Shindu tertutup rapat dengan suara yang cukup keras sehingga Anin terlonjak kaget.

Karena sudah rindu dengan kasur kesayangannya ia tidak memikirkan permasalahan itu mungkin saja Shindu sedang lelah karena disibukkan dengan organisasi.

***

Sore tadi ayah mengatakan bahwa akan pulang larut malam sehingga memerintah anak-anak untuk makan malam lebih dulu tanpa harus menunggu Baskara dan Yunita. Anin dan Izaz berpikir tentang urusan yang sedang dikerjakan oleh kedua orang tuanya sampai-sampai pergi dari pagi dan pulang larut malam.

Sedangkan Shindu sendiri, pemuda itu tampak tidak bergeming di sana seolah-olah tengah memikirkan permasalahan yang cukup berat. Makanannya juga tidak tersentuh sama sekali dan dari tadi Shindu hanya mengaduk-aduknya.

"Makanan itu di makan, Mas. Jangan di aduk-aduk gitu," tegurnya. "Kalian berdua lagi marahan ya? Keliatan banget dari tadi diam-diam mulu, biasanya juga ngobrol."

Salah satu dari mereka tidak menjawab hanya mendengarkan ocehan dari adik bungsunya. Ketika Anin masih mengoceh pelan suara kursi terdengar—Shindu bangkit dari duduknya sebelum menghabiskan makanan.

"Mas! Wong lagi ngomong kok malah mlaku-mlaku wae. Iki uga panganane durung entek," dumel Anin sedikit kesal lantaran kakak tertua mengabaikannya.

Anin sedikit merasa ada yang tidak beres dengan anak kembar itu, setiap kali dia bertanya salah satu dari mereka pasti akan diam saja tanpa ingin membalas pertanyaan darinya. Dia juga berpikir, apa masalah diantara mereka sehingga terjadi seperti ini.

Namun, Anin tidak akan ikut campur dengan permasalahan kedua kakak kembarnya. Lebih baik mengurus tugas-tugas sekolah yang menumpuk bak gunung Everest daripada harus ikut campur dengan permasalahan mereka.

Setelah semua selesai menyantap makanan—Anin dan Izaz kemudian pamit kepada bibi untuk cepat-cepat beristirahat karena seharian ini yang merek hadapi cukup menguras banyak tenaga.

Melihat pintu kamar Shindu terbuka membuat jiwa penasaran Anin muncul kemudian ia mengintip dari celah pintu. Di saat ia melihat tidak ada Shindu di dalam kamar, Anin membuka pintu kamar cukup lebar. Benar, tidak ada Shindu di sana.

Tanpa menghiraukan keberadaan Shindu, Anin bergegas untuk menuju kamarnya sendiri karena masih banyak pekerjaan sekolah yang masih terbengkalai.

Sedangkan di sisi lain—pada taman belakang kediaman Baskara terdapat seorang pemuda berusia 17 tahun sedang duduk di kursi taman. Dari kedua bola mata terlihat kekosongan yang terpancar dari sana dengan diiringi oleh kesunyian dan hawa dingin.

Dia adalah Shindu—anak tertua dari Baskara dan Yunita. Sebagai anak laki-laki pasti dia memiliki cinta pertama yang tidak lain adalah ibu tercinta. Banyak sekali ketakutan-ketakuan yang terpendam dalam dirinya tetapi dia tidak bisa secara memperlihatkan itu secara terang-terangan.

Banyak sekali ketakutan-ketakutan yang ada dalam dirinya. Shindu menatap ke arah langit malam yang penuh dengan taburan bintang-bintang serta cahaya bulan yang menerangi gelap malam.

"Ayah sama ibu pasti bohong," gumamnya. Shindu masih mengingat tadi pagi sebelum berangkat dari sekolah, kedua orang tuanya meminta izin kepada mereka untuk keluar kota karena urusan.

Ia yakin. Urusan yang dimaksud orang tuanya itu adalah perawatan terapi untuk ibunya tanpa mereka ketahui—kecuali Shindu. Beberapa waktu lalu saat Shindu akan pergi menuju dapur pada malam hari untuk mengambil air, ia tidak sengaja mendengarkan jika Yunita didiagnosis menderita traumatic brain injury (TBI) atau cedera otak traumatis.

Mendengar semua itu, Shindu terkejut bukan main terlebih lagi saat mencari tahu tentang TBI. Dari awal memang perawatan yang dilakukan oleh Yunita berupa fisik sehingga penyakit dalam seperti TBI baru diketahui sekarang—mungkin bukan sekarang. Tapi dirinya baru tahu akhir-akhir ini.

Yang membuatnya bingung kenapa kedua orang tuanya merahasiakan kepada anak-anak mereka? Kita sebagai anak juga harus mengetahui itu agar kita bisa memberikan support kepada Yunita untuk sembuh. Satu hal yang Shindu tidak ketahui yaitu penyakit yang di cerita ibunya parah atau tidak.

Namun, Shindu selalu berdoa agar penyakit yang diderita oleh ibunya tidak parah dan berhasil melawan penyakit itu.

"Apa mereka rahasiain ini karena gak mau anak-anaknya khawatir?" tanyanya pada diri sendiri.

Pikirannya kalut. Shindu takut. Ia takut jikalau ibu kenapa-kenapa. Masih banyak impian yang masih belum ia capai untuk ibu, dia belum bisa membawa mereka berjalan-jalan ke luar negeri.

***

Yunita baru saja menyelesaikan terapi fisik terakhir mereka untuk hari ini. Malam telah menjelang dan mereka bersiap untuk pulang ke rumah. Yunita duduk di kursi roda tampak lelah tetapi puas dengan kemajuan yang dia rasakan. Baskara, suaminya dengan penuh perhatian mendorong kursi roda menuju mobil mereka yang terparkir di luar klinik.

Jalanan tampak lenggang dengan lampu-lampu jalan yang memancarkan cahaya kekuningan, menciptakan bayangan panjang di trotoar. Baskara membantu istrinya untuk masuk ke dalam mobil dengan sangat hati-hati, memastikan dia nyaman di tempat duduknya sebelum menutup pintu.

Saat mereka mulai meninggalkan klinik, suara mesin mobil yang berderu pelan menjadi latar belakang perjalanan mereka. Di dalam mobil, suasana hening. Yunita melihat ke luar jendela, merenungi perjalanan panjang yang telah dia lalui sejak kecelakaan itu. Dia mengingat saat-saat sulit di rumah sakit, masa-masa tidak sadar saat koma, proses panjang pemulihan yang dia jalanin, dan tangisan serta kekhawatiran dari anaknya.

Baskara melirik ke arah Yunita dari sudut matanya sambil mengemudi. Di setiap lampu merah, ia menggenggam tangan Yunita dengan dibalas genggaman pada  tantan suaminya.

"Kamu jangan terlalu pikirin tentang anak-anak, biar nanti aku yang bilang. Kita cari waktu yang tepat buat kasih tahu hal ini, ya?" tanya Baskara kemudian Yunita menjawab dengan anggukan.

Yunita akan menyerahkan semua itu kepada suaminya, dia tidak tega jika harus mengatakan tentang kondisinya terhadap anak-anak.

Perjalanan mereka berlanjut, melewati jalan-jalan yang sudah mereka kenal. Lampu-lampu kota yang bersinar di kejauhan seakan-akan menjadi saksi bisu dari setiap langkah kecil menuju pemulihan yang lebih baik. Yunita tahu, perjalanan ini masih panjang, tetapi dengan Baskara, Shindu, Izaz, dan Anin di sisinya, dia merasa yakin bisa melewati semuanya.

***

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang