15 - Cinta Mati

30 12 0
                                    

Beberapa jam setelah keberangkatan Yunita ke Bandung rumah kini terasa lebih sepi seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Entah apa yang mereka semua lakukan sehingga tidak ada interaksi.

Mereka berada di kamar dengan kesibukan pribadi masing-masing sehingga tidak ada pergerakan serta interaksi selain di kamar mereka sendiri.

Tentunya hal itu membuat Anin murung, rumah kini menjadi lebih sepi tanpa kehadiran ibunya. Sudah beberapa kali ia mencari kesibukan untuk menghilangkan rasa bosan dan murung tapi tidak ada satupun yang ampuh.

"Suasananya kok jadi sedih gini, ya?" tanyanya pada diri sendiri. Tubuhnya ia rebahkan di atas kasur dengan matanya melihat langit-langit kamarnya dengan pikiran kosong.

Tidak lama kemudian pintu kamarnya terbuka lebar menampilkan sosok laki-laki yang jelas ia kenali. Dengan paksa Anin merubah posisinya menjadi duduk melihat kelakuan kakaknya itu yang sudah menjadi kebiasaan.

Izaz menghampirinya dengan ponsel berada di tangan kanan. Wajah kakaknya itu tidak seperti biasanya yang selalu menampilkan raut wajah senang, jahil, dan ceria.

Bokongnya mendarat di atas kasur adiknya itu kemudian melihat Anin dengan tatapan serius. Hal itu membuat Anin bergidik ngeri karena takut dengan wajah kakaknya saat ini.

"Lo kenapa, jir. Tiba-tiba masuk ke kamar gue tanpa salam langsung masang muka kaya gitu?" tanya Anin dengan nada pelan.

Izaz tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkannya itu tapi malah menyodorkan ponsel ke arah Anin.

Anin langsung mengambil alih ponsel yang disodorkan kakaknya, kemudian melihat sebuah chat Adinda dengan salah satu anak kelas XI IPS 2. Membaca setiap bubble chat dengan cermat dalam detik terakhir Izaz menarik tubuh Anin secara tiba-tiba dalam pelukannya.

"Gue harus gimana, Nin? Beneran gak sih? Dinda selingkuh?" tanya Izaz.

Anin sekarang tidak habis pikir dengan kelakuan kakaknya ini yang bisa membuatnya panik. Tapi karena sudah membaca foto yang berisi pesan Adinda dan salah satu anak IPS, membuatnya mendorong bahu Izaz agar menjauh.

"Anjir, stres lo. Gue kira ada apaan, udah panik sama takut juga." Anin terus mengomel kepada kakaknya itu lantaran tidak terima karena telah dibuat takut dan panik.

Sebenarnya ini bukan murni kesalahan Izaz tapi hanya saja Anin yang memiliki pemikiran seperti itu. Tapi apalah daya, Izaz sebagai laki-laki tentunya akan tetap salah di mata perempuan termasuk adiknya itu.

"Ini juga masalah gawat, Dek. Kalau beneran Dinda selingkuh gimana?"

"Sehat, kan?" Anin memeriksa dahi kakaknya itu dengan telapak tangannya, memastikan agar Izaz baik-baik saja. "Perasaan gak panas deh."

Dengan cepat Izaz menyingkirkan tangan Anin di dahinya. "Lo kira gue demam? Hati gue sakit, Nin, kayak mimpi, jir."

"Sumpah lo freak banget, mending lo keluar aja udah," usir Anin, merasa bahwa kehadiran Izaz mengganggu waktu karena memberitahu bahwa pacarnya diketahui selingkuh.

"Gak kakak gak adek, sama aja. Hati gue jadi terpotek-potek lagi," ujar Izaz lebih mendramatisir.

"Mas, kembaran lo lagi kumat atau gimana?" tanya Anin kepada Shindu yang baru saja masuk ke dalam kamarnya.

Kini Izaz sudah merebahkan badannya di atas lantai dengan dialasi oleh karpet bulu berwarna putih. Matanya masih sibuk mengamati ponsel dengan tatapan yang tidak percaya.

"Ya itu, katanya Dinda ketahuan selingkuh sama anak IPS. Padahal udah kelihatan banget kalau dia emang selingkuh dari awal pacaran." Shindu menjawab pertanyaan dari Anin sontak hal itu membuat Izaz langsung mengubah posisi duduknya.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang