14 - Pamit

33 12 0
                                    

Di bawah langit yang tenang dan bersih, keluarga Baskara duduk bersama di halaman depan rumah mereka. Ayah dan Ibu duduk berdampingan di kursi lipat sambil mengobrol riang, sementara ketiga anaknya itu sedang sibuk bercerita random apa yang dirasakan oleh mereka.

Di atas, langit dipenuhi dengan gemerlap bintang yang menghiasi malam, menciptakan latar belakang yang indah dan tenang. Walaupun udara yang sejuk dan dingin menyelimuti sekitar, mereka tetap berada di sana.

"Nak, sini dulu," ujar Yunita, menyuruh ketiga anaknya itu mendekat pada kursi lipat yang ia duduki.

Shindu selaku anak pertama pun memberi kode agar mendekat ke arah orang tuanya. Melihat adik-adiknya yang patuh dapat membuatnya mengulas senyum tipis sehingga tidak ada yang menyadari bahwa dirinya sedang tersenyum.

Ketiga anak itu pun duduk di kursi lipat yang tersedia di sana kemudian melihat wajah sang ibu.

"Ada apa, Bu?" tanya Izaz.

"Gak apa-apa. Ibu cuma mau kasih tau aja, kalau mulai besok Ibu bakalan pergi ke Bandung selama 1 minggu." Yunita memberi tahu apa tujuan menyuruh anak-anaknya mendekat.

Seperti yang ia duga anak-anaknya itu pasti akan menanyakan alasan pergi ke Bandung selama satu minggu. Dengan pelan Yunita menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh ketiga anaknya dengan sabar.

Sebenarnya Yunita tidak tega harus meninggalkan ketiga anaknya bersama suaminya. Tetapi, karena keadaan yang memaksa ia harus meninggalkan mereka satu minggu untuk merawat mertuanya yang sedang sakit.

Baskara yang memang sedang sibuk mengurus proyek di kantor membuatnya harus berada di Jakarta bersama ketiga anaknya. Baskara hanya bisa berdoa untuk kesembuhan orang tuanya agar dapat sehat kembali seperti sediakala.

Mendengar penjelasan panjang dari ibu membuat mereka paham jika nenek dan kakeknya sedang sakit.

"Ya udah, deh. Yang penting Ibu di sana jaga kesehatan," ujar Anin, diangguki oleh Yunita.

Izaz tampak berpikir keras sehingga mampu membuat keluarganya itu menatap ke arahnya.

"Kamu kenapa sih? Aneh banget jadi anak," celetuk Baskara.

"Aneh-aneh gini juga anak Ayah," jawab Izaz.

Berdebat dengan anak keduanya itu memang dapat membuat tensi darahnya naik. Karena tidak ingin itu terjadi maka ia lebih baik diam sambil melihat kelakuan anaknya yang terkadang diluar dugaan mereka.

"Lagi ngapain sih? Serem kalau kaya gitu, lama-lama kaya orang habis kabur dari Rumah Sakit Jiwa." Shindu yang duduk di samping kembarannya itu hanya mampu bergidik ngeri.

Izaz menghembuskan napasnya kemudian beralih melihat kembarannya dengan tatapan sinis. "Aku harus ngapain biar kalian tahu kalau gue normal. Aku manusia yang bisa melamun, ya."

"Oh, Ayah kira kamu setan."

Pembicaraan itu berlangsung sangat lama dibawah malam yang gelap itu diiringi oleh obrolan serta perdebatan kecil yang terjadi pada mereka. Seolah-olah tidak ada hari esok mereka tetap bertahan di bawah malam dengan hembusan angin dingin yang menerpa kulit.

Tidak ada satupun yang beranjak dari sana walaupun hari semakin larut. Selain itu, mereka sangat asyik membahas perdebatan tentang berapa jumlah pantat. Walaupun perdebatan itu sangat diluar perkiraan tetapi keluarga itu sangat semangat memperdebatkan itu.

***

Hari ini telah tiba. Hari di mana Yunita akan berangkat menuju Bandung untuk merawat mertuanya yang sedang sakit. Ketiga anak itu terlihat sangat murung karena akan menjalankan hari-harinya dengan sunyi dan tidak akan ada omelan dari ibu selama satu minggu ke depan.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang