13 - Sorry

54 23 20
                                    

Kopi Teduh. Bangunan kafe minimalis itu menjadi saksi bisu pertemuan antara Anin dan Marka. Setelah berkenalan satu sama lain, Anin menjadi lebih ceria saat mengobrol dengan laki-laki yang baru saja mengenalkan dirinya.

Hingga ia lupa tentang kakaknya juga berada di dalam bangunan ini. Izaz di sana hanya melihat adiknya dan salah satu barista yang sedang bercanda gurau. Mendesah kecewa Izaz beralih pada ponsel yang sedari tadi setia menemaninya.

Tanpa sadar ide jahil mulai muncul di otaknya, pemandangan yang ia lihat ini akan menjadikan foto sebagai ancaman saat ia berada di situasi rumit.

"Ah iya, gue balik kerja dulu, ya. Selamat menikmati teh-nya." Marka tersenyum manis lalu kembali pada mesin-mesin kopi yang membutuhkannya saat ini.

Mendengar suara lonceng berbunyi dari arah pintu sontak membuat Anin menoleh mencari-cari dua perempuan yang akan ia temui. Namun, orang yang baru saja masuk bukan orang yang dicarinya.

"Dua orang itu niat mau minta maaf enggak sih? Perasaan dari tadi gak sampe-sampe, rumahnya pindah ke kutub utara atau giman," gerutunya. Pasalnya Anin sudah berada di dalam kafe ini kurang lebih tiga puluh menit tapi belum ada tanda-tanda jika Kimberly dan Tasya datang.

Karena merasa lelah menunggu, Anin lantas berdiri sambil membawa ponsel yang berada di atas meja. Namun, suara perempuan yang memanggilnya membuatnya mengurungkan diri untuk pergi.

"Anin!"

Tasya dan Kimberly, dua perempuan itu masuk ke kafe dengan langkah tergesa-gesa. Mereka melangkah menuju meja yang di dekat coffee bar, lalu mendekati Anin yang duduk di sana dengan wajah datar. Setelah di persilahkan untuk duduk lantas mereka menurutinya.

"Ah, Nin. Sorry, ya udah nunggu lama," ujar Kimberly merasa tidak enak. Setelah mendengar penjelasan dari Shindu kemarin, ia dan Tasya benar-benar sadar bahwa yang dilakukannya kemarin kepada Anin bisa saja merusak mental seseorang dan dapat mengubur rasa percaya diri seseorang.

Dan Shindu juga memberi tahu hubungannya dengan Anin. Mereka benar-benar menyesal karena sudah membully adik dari laki-laki yang ia sukai.

"Gue minta maaf, ya, Nin," ungkap Tasya dengan nada penuh penyesalan.

"Gue juga, minta maaf. Kita nyesel, setelah dikasih nasihat sama Shindu dan beberapa guru. Kita jadi sadar kalau kami salah, gue minta maaf sebesar-besarnya, kalau lo belum bisa maafin kita juga gak apa-apa." Kimberly ikut menimpali apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu. Rasa malu dan menyesal membuat hatinya merasa tidak tenang.

Anin mengangguk. "Tenang, aja. Gue udah maafin kalian, kok. Lain kali ini jadikan pelajaran buat kalian, bully itu bisa bunuh mental dia."

"Kami tahu, Nin. Makanya kita minta maaf, ini bukan atas paksaan orang lain melainkan dari hati kita yang paling dalam," ujar Kimberly.

Melihat kedua kakak kelasnya itu menunduk membuat bibirnya terangkat, menahan tawa. Ia mencoba sekuat tenaga untuk menahan tawa agar tidak meledak karena ingin melihat ekspresi wajah mereka lebih lama.

Salahkan Anik jika merasa tidak sopan dengan kakak kelasnya itu karena sedang ingin menertawakan mereka.

"Iya, gue udah maafin kalian kok. Tenang aja," jawab Anin sambil mengangkat bibirnya hingga melengkung. "Oh iya, gue balik duluan, ya. Lagi ada urusan soalnya." Anin kembali mengambil ponsel pada atas meja kemudian berdiri, tidak lupa mengkode kakaknya untuk segera keluar dari kafe ini.

"Buru-buru banget, mau kita anterin enggak?" tawar Tasya, Anin lantas menggeleng menolak ajakan kakak kelasnya itu dengan sopan.

"Gak usah, kalian have fun aja di sini."

Tasya dan Kimberly mengangguk saling melihat Anin berjalan pergi keluar dari kafe ini.

"Hati-hati adik ipar!" seru Kimberly sembari melambaikan tangan kepada punggung Anin. Mendengar perkataan Kimberly lantas membuat Anin melotot lantaran menyebutnya dengan kalimat 'adik ipar' yang artinya Kimberly sudah tahu tentang ia dan Shindu.

"Anjir? Lo?" Anin kemudian berhenti dan membalikan badan melihat ke arah meja yang tadi ia duduki. Langkahnya kini kembali ke meja tersebut untuk menjelaskan  ini semua.

Kimberly terkekeh dengan wajah kaget Anin setelah mendengar apa yang diucapkannya. "Kita udah tau, kok. Kalau lo, Shindu, dan Izaz kakak adik."

"Iya, awalnya kita kaget. Kok bisa, tapi waktu Shindu kasih bukti foto masa kecil kalian kita jadi percaya," timpal Tasya.

Anin menghembuskan napasnya. Apa ini alasan Shindu tidak ikut menemaninya? Karena kedua kakak kelasnya sudah tahu dengan kejadian sebenarnya, ia tidak memaksakan tapi mereka juga berjanji bahwa tidak akan memberitahu kepada siapa-siapa.

Setelah berbicara dan diskusi akhirnya Anin pamit untuk pulang.

***

Anin membuka pintu utama dengan perasaan kesal kemudian beralih melihat ke arah kakak pertamanya yang duduk di ruang tamu dengan ditemani oleh laptop dan juga tumpukan buku.

"Hey! Shindu!" seru Anin, merasa sedikit tidak terima karena memberitahu orang lain dengan status mereka tanpa melakukan diskusi dengannya.

"Kalau bicara yang sopan." Buku yang berada di atas meja kini mendarat pelan pada dahi Anin. "Gak ada sopan-sopannya sama kakak."

Izaz hanya melihat drama perdebatan mereka ini tanpa mau ikut serta di dalamnya. Ia lelah karena harus menemani Anin untuk bertemu dengan Kimberly dan Tasya.

Karena acara mendadak itu ia jadi tidak dapat berkencan dengan kekasihnya.

"Lo kasih tau Kimberly sama Tasya, kan?" tanya Anin sewot. "Gemes banget gue sama lo!" Anin yang sudah sedikit kesal pun memukul lengan Shindu dengan sedikit keras serta mencubitnya.

Sang empu hanya meringis lantaran serangan dari adiknya tidak main-main.

"Udah, udah, sakit tau."

"Udah, udah, sakit tau," sinis Anin mengikuti apa yang di ucapkan oleh kakaknya.

"Lagi pula, kalau mereka gak di kasih tau pasti bakal bully lo lagi. Emang lo mau?" Anin menggeleng. "Tenang aja, mereka udah janji kok, kalau gak sebarin berita itu ke siapa-siapa. Kita juga udah perjanjian, kalau mereka bocorin mereka harus denda."

Anin terdiam mendengarkan perkataan Shindu. Tapi, dalam hatinya kini sudah terlanjur kesal dengan kakaknya karena tidak berdiskusi kepadanya.

Malas meributkan hal ini, Anin meraih tasnya yang berada di atas meja kemudian melangkahkan kakinya menuju kamarnya untuk beristirahat.

***

Author note :
Gak sampai seribu kata karena ide udah buntu banget ini. Tapi tenang aja, untuk next chapter bakal aku usahain lebih panjang dari yang ini.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang