26 - Saat Rasa Takut Menyapa

18 3 0
                                    

"Nak, kita mau bicara sesuatu," ujar Baskara, memecahkan keheningan setelah berhasil mengumpulkan ketiga anaknya di ruang keluarga.

Ada sesuatu yang sangat berat yang harus ia sampaikan. Sebagai orang tua, Baskara dan Yunita tahu bahwa rahasia ini, jika terlalu lama disembunyikan, hanya akan membawa rasa sakit yang lebih mendalam. Namun, sekarang adalah saat yang tepat untuk memberi tahu anak-anak mereka.

Baskara menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatan. Ia yakin anak-anaknya kuat, dan mereka pasti akan saling menguatkan. Meski sulit, ia percaya mereka akan mendukung pemulihan Yunita dengan sepenuh hati.

"Namun, Ayah mau kasih peringatan buat kalian. Kalian harus siap menerima ini semua," katanya, suaranya sedikit bergetar tapi tetap tegas.

"Ada apa, Yah? Kok kayak penting banget?" Izaz bertanya dengan nada bingung, merasakan atmosfer yang berbeda. Wajah Baskara yang tampak serius membuat suasana semakin mencekam.

Di samping Izaz, Shindu duduk diam, berusaha menekan prasangka-prasangka buruk yang berkecamuk di pikirannya. Ia berharap firasatnya salah, meski jauh di lubuk hatinya ia tahu apa yang akan disampaikan ayahnya.

"Ibu didiagnosis menderita traumatic brain injury (TBI) atau cedera otak traumatis," kata Baskara, berusaha tersenyum meskipun hatinya berat. "Ayah tahuk pasti kalian syok. Maaf karena kamu baru bisa kasih tahu sekarang. Kami takut kalian terlalu khawatir kalau diberi tahu lebih awal."

Baskara menghela napas sebelum melanjutkan, "Tapi kalian gak usah khawatir. Ibu sekarang rutin menjalani terapi, dan penyakit ini bisa sembuh. Ayah harap kalian tetap mendukung Ibu, karena dukungan kalian sangat penting buat kesembuhannya.

Keheningan langsung meliputi ruangan setelah kata-kata itu terucap. Izaz dan adiknya, Anin tampak syok. Mereka tak menyangka bahwa kondisi ibu mereka seberat ini. Shindu mengangguk pelan sebelum bangkit dari duduknya meninggalkan ruangan tanpa mengucap sepatah kata pun.

Shindu keluar ke taman belakang, butuh udara segar untuk menjernihkan pikirannya. Langit malam yang dingin dan bintang-bintang yang berkelip seolah ikut merasakan kepedihan yang kini memenuhi dadanya. Ternyata firasatnya benar. Ibunya memang menderita traumatic brain injury. Shindu tidak marah atau kecewa kepada ayah dan ibunya karena merahasiakan ini.

Dia hanya takut. Takut kehilangan sosok yang paling dicintainya—ibunya. Takut jika ayah dan kedua adiknya akan terlalu terpukul oleh kenyataan itu.

Ketakutan itu lebih besar dari apa yang bisa ia ungkapan dengan kata-kata. Saat ini, Shindu hanya ingin menenangkan diri, berusaha menahan emosi yang siap meledak kapan saja. Dia tidak ingin menambah beban keluarga, tak ingin membuat mereka semakin khawatir.

Di bangku kayu taman belakang, Shindu duduk sendirian, ditemani oleh angin malam dan bintang berkelip di langit. Heningnya malam seolah memberi ruang baginya untuk merasapi rasa takut yangmmembelenggu hati. Meski pikirannya kacau, ia tetap berusaha menjaga ketenangan keluarganya.

Tampak dari kejauhan, seorang wanita perlahan menuju Shindu yang duduk sendirian di halaman belakang. Di tangannya, ada segelas susu putih hangat— minuman kesukaan Shindu senam kecil. Wanita itu, Yunita, tampan sedih melihat anak pertamanya larut dalam pikiran yang tak terucapkan. Hatinya berat, tapi ia tahu, sebagai seorang ibu, ia harus tetap tegar.

Yunita duduk di samping Shindu tanpa berkata sepatah kata pun, menghargai keheningan yang dibutuhkan anaknya. Dengan lembut, ia mengelus rambut Shindu, gerakannya pelan tapi penuh kasih sayang.

"Nak," panggil Yunita dengan suara lembut, matanya memandang Shindu dengan penuh sayang.

Shindu menoleh perlahan dan saat ia melihat senyum lemah di wajah ibunya, hatinya terasa makin sakit. Pikiran tentang penyakit yang kini diderita Yunita membuat dadanya sesak.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang