01 - Rencana Ayah

177 83 175
                                    

Sejak pagi tadi, anak dari keluarga Baskara menikmati momen liburan yang hampir usai dengan menonton serial kartun seharian penuh.

Saat ini Yunita berada di rumah menemani ketiga anaknya menonton televisi. Baskara sendiri sedang sibuk berada di kamar untuk memilih baju-baju yang cocok untuk dipakai. Namun, hampir dari seluruh isi lemari tersisa setengah karena sebagian sudah ia keluarkan.

Yunita duduk berada disamping anak perempuannya yang kini akan menjadi anak SMA, sama seperti kakaknya yang lain.

Dan Anin berada di satu sekolah sama sama dengan si kembar. Awalnya Anin menolak karena sudah bosan berada di sekolah yang sama sejak TK. Tetapi, setelah tidak diterima di sekolah yang dia incar, akhirnya ia mengikuti kemauan ibu untuk mendaftar di sekolah yang sama dengan kakaknya.

"Kamu sudah beli peralatan sekolah belum, Nin?" tanya Ibu merapihkan rambut Anin yang terurai.

Pertanyaan Yunita membuat Anin menatap kepada sang Ibu. "Sudah, Bu. Tapi belum lengkap, masih ada yang kurang."

Tepat pada Anin menjawab pertanyaan Ibu, Baskara muncul disela-sela mereka menonton televisi dan mengobrol. Baskara kini sudah rapih mengenakan kaus kesukaannya. Tidak lupa juga kacamata hitam yang melekat pada atas kepalanya. Baskara menyapa ketiga anaknya dan sang istri lalu ikut bergabung dengan mereka.

"Ayah mau kemana? Rapih banget, pakai kacamata lagi," ucap Izaz memperhatikan penampilan Baskara yang tampak begitu rapih tidak seperti hari libur biasanya yang hanya mengenakan kaus dan sarung.

"Mau jalan-jalan, yuk."

"Emangnya mau jalan-jalan kemana? Kok mendadak banget kaya tahu bulat?" kini Ibu bertanya kepada suaminya. Padahal sebelumnya mereka hanya bersepakat untuk menghabiskan hari ini dengan menonton televisi di rumah.

"Kemana aja yang penting jalan-jalan, kalian bertiga juga belum lengkap beli alat tulis kan?" tanya Baskara menatap anaknya satu persatu lalu membuat ketiga anaknya mengangguk secara bersamaan. "Ya, sudah. Ayo, keburu kesiangan nanti lho."

"Izaz aja belum mandi, Yah," keluh Izaz sembari mencium badannya, hal itu membuat Shindu bergidik.

"Gak usah mandi, cepetan sana kalian ganti baju, jangan malu-maluin."

Perintah yang dikeluarkan oleh mulut Baskara membuat ketiga anaknya menuruti apa yang dikatakan oleh Baskara. Mereka langsung berdiri dan bergegas untuk menuju ke kamar masing-masing untuk sekedar berganti pakaian dan menyemprotkan parfum tentunya.

Baskara kini beralih menatap lekat-lekat wajah Yunita. Istrinya yang sedang fokus melihat layar televisi itu membuatnya bergeser untuk duduk lebih dekat disamping Yunita. Melihat kondisi ruang tamu, Baskara mulai merangkul pundak Yunita sembari menyilangkan kakinya.

"Apa?" tanya Yunita saat menyadari Baskara tengah menatapnya.

"Gak papa. Kamu makin cantik deh, bikin adek buat si kembar sama Anin yuk?"

Tidak disangka-sangka oleh mereka. Anin dn Shindu mendengar ucapan Baskara, dengan cepat keduanya berlari menghampiri Ibu dan Ayah.

Shindu bahkan menjauhkan Baskara dari ibu. Perlakuan dari kedua anaknya itu membuat Baskara berdecak kesal.

"Gak boleh! Anin gak mau punya adek!"

"Shindu juga gak mau, ngurus Anin aja susah apa lagi mau nambah!"

"Sudah sudah, jangan pada debat nanti malahan gak selesai-selesai," ucap Yunita mampu membuat mereka bungkam, matanya kini mencari-cari satu anaknya yang belum juga turun. "Izaz mana? Belum turun juga?"

"Izaz di sini Kanjeng Ratu," celetuk Izaz yang masih menuruni anak tangga.

"Ibun cari Izaz kah?" tanya Izaz menghampiri orang tua dan saudaranya dengan langkah dibuat-buat seperti orang yang tengah melakukan fashion show.

"I'm here."

"Beneran mau nambah Adek lagi, Yah? Memangnya gak frustasi kalau kita bertiga lagi tantrum?" tanya Shindu untuk mempertimbangkan keputusan Baskara.

"Gak tau nanti," balas Baskara singkat.

"Anaknya Yunita sama Baskara emang gantengnya kelewatan, ya, pemirsa," ucap Izaz sembari melihat pantulan wajahnya dari layar ponsel dengan menyisir rambut dengan jari tangan.

Baskara langsung melempar boneka kecil mengarah kepada Izaz. "Mulutmu kui, Mas. Ndak sopan banget, ngomong Ibu sama Ayah langsung pake nama."

Teguran itu keluar dari mulut Baskara sehingga membuat Izaz terdiam kikuk. Shindu, Anin, dan Yunita tertawa melihat ekspresi yang ditunjukan Izaz. Tawa mereka berhenti saat Baskara mengajaknya untuk segera berangkat sebelum cahaya matahari benar-benar bersinar terik.

Mobil yang dinaiki oleh keluarga Baskara sudah melaju beberapa menit yang lalu. Semua menempati kursi yang sudah disepakati oleh Baskara dan Yunita agar memicu terjadinya pertengkaran. Anin merasa malas sebab ia harus duduk di antara si kembar, belum apa-apa Izaz sudah menyenderkan kepalanya di pundak Anin.

Sudah tiga kali Anin mencoba menyingkirkan kepala Izaz dari pundaknya namun sia-sia karena kakaknya itu masih terus-terusan menyender.

"Berat tau gak? Ngapain sih nyender di pundak gue?" tanya Anin yang sudah emosi sendiri dengan tingkah kakak keduanya saat ini. "Pundak aku, maksudnya." Anin langsung buru-buru membenarkan ucapannya setelah Ibu menatap dirinya.

Jika sedang berada dengan orang tua Shindu, Izaz, dan Anin menggunakan kata yang sopan seperti aku-kamu. Pernah dulu saat mengetahui kita bertiga sering menggunakan sapaan lo-gue sekaligus kata umpatan yang dilontarkan oleh Izaz, kita bertiga berakhir di hukum mengerjakan pekerjaan rumah selama satu bulan penuh.

"Pinjem sebentar doang, jangan pelit-pelit sama kakak sendiri," balas Izaz dengan tenang sembari memainkan game melalui ponsel.

Ingin sekali Anin memukul badan Izaz bertubi-tubi, jika saja ibu dan ayah tidak berada di sini. Anin berjanji akan memukul kakaknya hingga meringis kesakitan sambil memohon kepadanya.

"Mas," panggil Anin kepada Shindu yang terlihat sibuk dengan ponsel.

"Pindah sini, please."

Anin memohon kepada Shindu agar mau berganti tempat duduk dengan tatapan memohon. Sepertinya cara ini tidak akan berhasil, mengingat Shindu yang sangat geli melihat wajahnya sekarang ini, tapi apa salahnya mencoba kan?

"Males, dia bau."

"Nih," Anin menyodorkan parfum miliknya yang selalu berada di tas kecilnya pada Shindu. "Katanya Kak Izaz bau, ya sudah, tinggal pakein ini."

"Tetap aja, Mas gak mau."

"Please, mau ya?"

"Mas gak mau, Anindhita."

Mendengar Shindu mengucapkan namanya pun hanya bisa memutar bola matanya malas. Pundaknya kini menjadi korban oleh Izaz yang sampai sekarang masih menyender dengan tenang sambil bermain game.

"Sabar, sabar, orang sabar pasti ketiban uang satu karung."

***

Kalau ada typo jangan lupa tandai agar bisa aku perbaiki lagi, kalau ada kritik saran mengenai cerita ini boleh lho tulis di komentar!

Terimakasih sudah menyempatkan membaca cerita ini ❤

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang