04 - Sweet Brother

126 64 122
                                    

Anin dan Nana kini sudah kembali ke kelas karena saat berada di kantin tadi, mereka sempat mendapatkan teguran oleh salah satu anggota OSIS. Karena sudah pergi ke kantin sebelum jam istirahat tiba.

Seperti apa yang diucapkan oleh Anin tadi adalah benar, sedari tadi kelas masih belum ada guru yang masuk. Membuat suasana kelas X MIPA 1 terdengar sangat ramai bagaikan pasar pada pagi hari.

Anin berkali-kali berdecak kesal karena merasakan kebosanan yang terus melanda dirinya. Entah sudah berapa lembar kertas yang sudah penuh dengan coretan yang dibuat oleh Anin untuk mengatasi rasa bosan.

Berbanding terbalik dengan Nana. Gadis itu terlihat sangat tenang dengan buku yang sedang dipegang.

"Lo gak bosen, Na?" Pertanyaan Anin kepada Nana, membuat gadis itu melihat ke arahnya.

"Enggak," jawab Nana tetap masih sibuk membaca buku.

Anin menghela napas, kemudian membuka room chat dengan Kakak pertamanya. Jari-jarinya kini mulai lihai mengetik pada keyboard di layar ponsel.

Beberapa bubble chat terkirim, tidak membutuhkan waktu yang lama pesannya mendapat balasan. Membuatnya mengulas senyum tipis, setelah membaca balasan dari Shindu lantas membuatnya berdiri. Tidak lupa merapihkan seragamnya.

"Mau ke mana?" tanya Nana dengan penasaran. Buku yang tadi berada di tangannya sudah berpindah tempat menjadi di atas meja.

"Perpustakaan bentar, mau ikut?" ajaknya lantas dijawab gelengan oleh Nana.

"Enggak, ah. Takut kena teguran sama OSIS gara-gara keluar kelas lagi," jawab Nana.

Anin mengangguk mengerti. Sebelum menuju ke arah pintu, Anin membalikkan badannya melihat ke arah Nana.

"Nanti kalau ada guru, chat gue, ya, Na."

"Gue aja belum punya nomer lo," jawab Nana sedikit keras agar terdengar oleh Anin.

"Cari aja di grup kelas, yang namanya Anindhita pakai foto profil barbie," ucap Anin sebelum benar-benar keluar meninggalkan kelas X MIPA 1.

Hawa dingin kini mulai menerpa kulitnya setelah memasuki Perpustakaan. Matanya mulai mencari-cari sosok yang sedang menunggunya. Karena tak kunjung menampakkan diri, Anin pun bergegas untuk mencari di setiap sudut.

Anin berlari kecil setelah menemukan laki-laki yang tengah ia cari. Di sana, Shindu sedang duduk di atas lantai dengan beralasan karpet bulu. Tidak lupa dengan buku serta botol minum yang berada di dekatnya.

"Mas!" panggil Anin sedikit keras. Buru-buru ia menutup mulutnya dengan telapak tangan setelah mendapatkan kode dari Shindu agar tidak mengeluarkan suara terlalu keras.

Anin menggaruk lehernya yang tidak gatal, kemudian ikut duduk di sebelah Shindu yang masih sibuk dengan tumpukkan buku-buku.

"Lagi ngapain, Mas?" tanya Anin yang sudah tidak tahu harus menanyakan hal apa.

Padahal saat berjalan menuju Perpustakaan, sudah banyak topik obrolan yang akan di bahas bersama Shindu.

"Bisa lihat sendiri, kan. Udah tau lagi kerjain tugas, masih aja nanya," sindir Shindu, lantas membuat Anin memutar bola matanya malas.

"Gabut, Mas." Anin mulai merebahkan tubuhnya di atas karpet bulu. Matanya melihat langit-langit yang ada di Perpustakaan.

Shindu kini mulai berhenti mengerjakan tugas, lalu menatap ke arah Anin. Pulpen yang dari tadi Shindu pegang, kini mulai mendarat pelan pada puncak kepala gadis itu.

Mendapatkan serangan yang begitu tiba-tiba, Anin meringis lantas mendudukkan dirinya. Menatap wajah Shindu yang masih tenang setelah melakukan hal itu.

Ia mengambil pulpen yang tadi mendarat pada pucuk kepalanya. Kemudian melempar balik kepada Shindu agar merasakan sakit yang ia alami tadi.

"Ngapain serang balik, jir."

"Biar impas, lah. Ya kali gak gue serang balik," jawabnya lalu mendekati dirinya pada Shindu.

"Mas, laper," ujar Anin sembari memegang perutnya.

"Makan, apa mau gue suapin pake sekop?" tawar Shindu yang masih sibuk mengerjakan tugas.

"Beliin donat, Mas," pinta Anin membuat Shindu berhenti menulis. "Nanti kalau udah ada uang, bakalan gue balikin deh, serius."

"Coba sesekali minta sama Izaz." Shindu kembali mengerjakan tugas-tugas itu tanpa menghiraukan ocehan Anin.

Anin berdecak kesal. "Bukannya dibeliin malahan gue yang beliin Kak Izaz, lagi pula kan Mas punya banyak uang. Rugi kalau gak buat nyenengin Adek."

Karena tidak ingin di ganggu terus-terusan dengan ocehan Anin, Shindu pun memberikan ponsel kepada gadis itu. Membiarkannya untuk memesan apa yang dia inginkan.

Anin meraih ponsel itu lantas merapat ke arah Shindu dan memeluk Kakaknya itu. "Beli dua gak papa, kan, Mas?"

"Iya, boleh. Biar nanti Mas yang bayar."

Senyum Anin merekah dengan sempurna. "Tapi kayaknya ada yang kurang deh, Mas."

Shindu mengela napas. "Apa yang kurang?"

"Minuman. Sekalian beli americano coffee 3, ya." Anin berujar manja sebelum mengeluarkan jurus rayuannya. "Boleh ya?" pintanya penuh harap. "Buat apa kalau punya uang banyak, kalau gak bikin Adiknya senang. Berhubung Mas belum punya cewek jadi harus puas-puasin beliin gue makanan."

Shindu lagi-lagi menghela napas. "Terserah lo aja, yang penting lo seneng."

Kapan Shindu bisa menolak keinginan Adiknya itu? Apapun akan ia usahakan membuat seorang Anindhita Sheren senang. Asalkan itu tidak membuat tabungannya terkuras.

"Yes!" Anin berseru girang sebelum akhirnya memeluk Shindu. "Makasih, sayangnya Anin." Saking bahagianya ia mencium pipi sang Kakak. Walau akhirnya keduanya lantas terkejut saat melihat sosok laki-laki yang tidak jauh dari mereka.

"Apa-apaan tadi? Peluk-peluk enggak ngajak gue? Kalian anggap aku apa, Mas?" tanya Izaz mendramatis.

Acting Izaz mampu membuat Anin dan Shindu tertawa kecil. Kemudian Izaz menghampiri Kakak dan Adiknya yang masih tertawa kecil.

Ada Izaz di keluarga Baskara adalah hal terindah yang pernah Tuhan berikan kepada mereka. Hidup menjadi lebih berwarna jika sedang bersama laki-laki itu. Izaz lah yang sering menjadi moodbooster bagi Ayah, Ibu, Shindu, dan Anin.

"Mau juga dong, dipeluk." Izaz lantas memeluk mereka dengan erat.

***

Author Note :
Untuk bab 4 kayaknya cukup sampai sini aja karna udah kehabisan ide. Perasaan kalian setelah membaca bab ini bagaimana? Apakah bab ini membuat kalian bahagia, terhura atau sedih? Jujur setelah nulis bab ini aku jadi iri sama Anin karna punya kakak yang sayang banget sama dia. Aku yang anak pertama hanya bisa iri lihat Anin :(

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang