21 - Kesedihan

47 10 7
                                    

"Lo mau pulang sekarang?"

Pertanyaan itu muncul di sela-sela Anin membereskan beberapa buku di atas meja. Padahal niatnya hanya untuk bersantai saja tapi Marka malahan mengajukan diri untuk membantu mengerjakan tugas.

Kebetulan Anin juga memiliki tugas yang tidak ia pahami jadilah ia meminta untuk diajarkan oleh Marka. Marka juga tampak tidak keberatan dengan hal itu malahan pemuda itu sangatlah excited daripada dirinya.

"Iya," balasnya. "Udah sore juga, takut dicariin sama orang rumah."

"Mau gue anterin?"

"Gak usah, gue minta jemput kakak gue aja," tolak Anin mengetik pesan untuk salah satu kakaknya agar segera menjemputnya.

"Beneran? Gue anter aja ya? Gak enak, masa izinin lo pulang sendirian."

Anin menghembuskan napasnya. "Gue gak sendirian, Ka. Nanti kakak gue jemput, kok , lagian kenapa gak enak coba? Seharusnya gue yang gak enak sama lo, karena tadi lo udah izinin gue buat bikin vanilla latte sama bantu kerjain tugas gue."

Setelah mengobrol singkat sebelum benar-benar pulang ke rumah, Marka memberikan beberapa snack miliknya untuk Anin. Hal itu membuat Anin berkali-kali tidak enak dengan Marka.

Shindu yang sedang duduk di sofa ruang tamu memandangnya bingung karena melihat dirinya membawa sebuah paperbag.

"Habis dari mana?" tanya Shindu saat kedua adiknya sudah sampai di rumah.

"Biasa, Anin nongkrong di kafe deket rumah sakit," jawab Izaz.

"Emangnya ada apa? Kok lo sering banget nongkrong di kafe itu? Lagi pendekatan sama baristanya, ya?" tebak Shindu seraya meledek adiknya itu.

Wajah Anin mendadak menjadi merah merona seperti kepiting rebus sontak membuat kedua kakaknya itu tertawa karena kemungkinan tebakan Shindu tepat sasaran. Lantaran ditertawakan oleh kedua kakaknya dirinya lebih baik pergi dari sama sebelum mendapatkan ledekan lebih banyak lagi.

Tujuan utamanya adalah pergi ke kamar untuk sekedar membersihkan diri serta beristirahat sejenak sebelum pergi lagi menuju rumah sakit. Omong-omong, Anin merasa sepi jika berada di rumah lantaran rindu dengan suasana saat Yunita berada di rumah.

Anin menghembuskan napasnya setelah sampai di depan pintu kamarnya, ia berhasil menghindari ledekan dari kakaknya. Mungkin, mereka sudah tidak terlalu memberi ledekan seperti hari-hari biasa sebelum Yunita di rawat. Mereka sekarang lebih berhati-hati agar tidak merusak mood adiknya.

"Rumah terasa sepi banget, kira-kira ibu sadarnya kapan, ya?" tanyanya pada diri sendiri setelah meletakkan tas dan paperbag di atas meja belajarnya. "Jadi kangen ibu."

Kini gadis itu beralih menuju balkon kemudian menduduki kursi yang berada di sama seraya melihat suasana jalan raya yang padat. Perumahan Baskara memang dekat dengan jalan raya, jadi tidak heran jika dari lantai dua Anin bisa melihat kepadatan kota Jakarta sore hari ini.

Terkadang ... Anin selaku memiliki pikiran negatif sehingga membuatnya takut akan kehilangan sosok ibu dari kehidupan. Tanpa sosok ibu mungkin Anin hanya gadis kecil yang malang.

"Ibu ... Anin kangen omelan ibu. Kalau kejadian bisa di ulang lagi, Anin gak minta ibu buat cepat-cepat pulang. Anin ...." Belum melanjutkan ucapannya, Anin tersentak kaget lantaran ia mendapat pelukan secara tiba-tiba.

Dari aroma parfum, Anin tahu siapa pelaku itu. Dengan cepat Anin menghapus sisa air mata untungnya ia tidak menangis terlalu lama jadi terlalu kelihatan bahwa dirinya baru saja menangis.

Namun, Izaz—kakaknya satu itu memang sangat tahu perbedaan Anin yang menangis beneran atau hanya bohong.

"Ayo lanjutin," ucap Izaz mengusap lembut pucuk kepala adiknya.

"Ngapain di sini? Gak sopan main nyelonong aja!" balas Anin sedikit kesal, menghindari kontak mata dari Izaz.

"Gak usah alihkan pembicaraan, Dek. Kalau emang kamu kasih sedih, nangis aja, keluarin semuanya yang ada di hati kamu biar lega. Kakak tahu kok, pasti kamu takut kalau ibu kenapa-kenapa, sama, Mas Shindu, gue, ayah pasti juga takut. Kita di sini cuma bisa berdoa untuk kesembuhan ibu, biar pulih kaya sediakala." Izaz mengucapkan itu dengan satu kali tarikan napas kemudian menghela napas sejenak sebelum melanjutkan ucapannya.

"Kamu mau kalau ibu sadar, kamu jadi kaya gini? Akhir-akhir ini sifat kamu berubah drastis, bahkan kita tahu terakhir lo tersenyum lebar. Itu udah lama banget, lo harus bangkit dalan keterpurukan, Dek. Karena hidup gak terus-terusan di sini, ada kalanya ibu bakalan sembuh."

Anin termenung setelah mendengar ucapan kakak keduanya itu, memang benar. Bukan orang-orang di sekitarnya yang sadar akan perubahan sifatnya ini, dirinya pun sadar. Itu terasa tidak enak.

"Kak," panggilnya.

Izaz lantas menoleh kepada adiknya dengan mengangkat satu alisnya. "Ada apa?"

"Emang sifat gue akhir-akhir ini beda benget ya?"

Pertanyaan itu muncul begitu saja seketika membuat Izaz ingin sekali meremas-remas badan adiknya itu agar bisa berbentuk lingkaran kemudian melemparnya. Apa dia tidak sadar? Dengan perasaan kesal, Izaz memukul dahi adiknya dengan pelan.

"Menurut lo? Kalau gak sadar coba ngaca deh, gak ada kaca? Nanti gue beliin," jawab Izaz sedikit geram. Tidak, bukan sedikit tapi sangat sangat geram.

"Oh."

"Lo kok jadi ngeselin sih? Kalau tahu bakalan kaya gini, gue mending langsung tidur aja gak usah ke kamar lo dan nasihati lo kaya tadi."

"Oh, jadi lo nyesel?"

"Iya, kenapa?" tanya Izaz.

"Ya udah, gak apa-apa."

"Enyah aja lo, Nin." Izaz lantas merangkul leher adiknya dengan sedikit keras sehingga menimbulkan protesan dari Anin. Tetapi, bukan Izaz jika akan mengabulkan permintaan itu, Izaz malah mengeratkan rangkulannya.

Leher Anin merasa tercekik karena tingkah kakaknya yang tiba-tiba saja seperti itu. Tapi, dibalik itu semua Anin sedikit senang. Walaupun akhir-akhir ini sifatnya berubah sangatlah drastis tapi orang-orang disekitarnya tampak tidak pernah bosan untuk menghiburnya agar kembali seperti biasa.

Orang itu tidak lain adalah keluarganya.

Baskara, Shindu, Izaz, tiga laki-laki terbaik yang ada di hidupnya. Laki-laki yang selalu siap menjadi tameng saat dirinya berada di titik terendah bahkan mereka rela menghabiskan waktu mereka untuknya.

Mereka tidak akan bisa tergantikan sampai kapanpun. Ayah, ibu, kedua kakaknya memiliki ruang tersendiri di hatinya.

***

Malam ini tidak seperti malam pada biasanya. Jika sebelumnya Anin berada di rumah saja setiap malam, kini dia lebih suka menghabiskan malamnya berada di rumah sakit untuk menemani sang ibu. Walaupun ayah dan kedua kakaknya sudah bersikeras melarang tapi Anin tidak memperdulikannya dan memilih menghampiri ke rumah sakit.

Sebelum menuju rumah sakit, Shindu, Izaz, dan Anin memakan malam yang sudah du masakan oleh Bi Ani—asisten rumah tangga yang baru bekerja beberapa minggu terakhir. Baskara memperkerjakan wanita paruh baya itu lantaran sangat khawatir dengan kondisi anak-anaknya selama dirinya berada di rumah sakit ataupun bekerja.

Selain mengurus rumah, Bi Ani terkadang menemani Yunita berada di rumah sakit ketika Baskara berada di kantor dan anak-anak Baskara berada di sekolah.

"Bi, Shindu minta tolong buatin bekal buat ayah," ucap Shindu dengan sopan sebelum menyantap makanan yang berada di meja makan.

"Siap, Den."

"Makasih, Bi." Bi Ani mengangguk kemudian berpamitan untuk membuat bekal untuk dibawa nanti saat pergi ke rumah sakit.

Izaz dan Anin sampai di meja makan secara bersamaan kemudian Shindu meminta agar kedua adiknya untuk bergegas makan malam sebelum pergi ke rumah sakit lagi. Acara makan malam ini terlihat cukup sunyi hanya suara alat makan yang saling bergesekan.

Tidak lama untuk menghabiskan makan malam itu karena di antara mereka ingin sekali bergegas menyelesaikan makan agar cepat-cepat pergi ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang