…
Uhuk!
Uhuk!
Seorang gadis berbatuk kecil merasa kalau sesuatu baru saja tersedak di dalam tenggerokannya. Namun, karena jam sudah hampir menunjukkan pukvl 07:00, gadis itu tidak boleh berdiam diri saja.
“Hah?! Udah jam 7 lewat? Aduh, gimana nih? Apa gue harus pulang kembali biar nggak di hukum sama ketos nyebelin itu, hiss!” decaknya ketika melihat jam tangannya.
Gadis itu mengusap wajahnya kas*r lalu duduk di salah satu halte bus. Ia menoleh kesamping kanan dan kiri lalu melihat kakinya yang masih terluka akibat kejadian kemarin yang dimana kakak-kakak kelasnya membullynya.
“Sayang sekali. Kalau gue punya kendaraan pasti nggak akan terlambat seperti ini,”
Linzy Laurance, gadis berumur 16 tahun. Mempunyai wajah yang sangat cantik. Namun, hal itu tidak dapat membuat semua murid yang ada di sekolahnya tertarik. Malah kebalikannya, mereka selalu menghina Linzy hanya karena Linzy adalah gadis yang mengandalkan beasiswa.
Brum!
Brum!
Suara motor dari sebrang sana membuat linzy mengangkat kepalanya dan melihat seorang cowok yang benar-benar Linzy jengkel. Siapalagi kalau bukan si ketos!
“Dia terlambat? Itu berarti, gue masih bisa ke sekolah dong! Harus cepat-cepat nih!” girang Linzy.
Linzy segera beranjak dari tempat itu lalu berlari dengan sekuat tenaga agar ketos menyebalkan itu tidak dapat menjangkaunya.
“Lari berputar lapangan sekarang! Sampai gue bilang, berhenti!” pinta ketos itu yang sudah ada di belakang Linzy.
Linzy berbalik lalu menatap cowok itu. “Lah, lo aja terlambat! Kenapa mesti gue yang di hukum. Seharusnya lo juga!”
Dava Kairaz. Seorang cowok berusia 17 tahun, memiliki paras yang sangat tampan bahkan menjadi cowok terpopuler di sekolah elit itu. Dia juga ketus OSIS sekaligus anak pemilik sekolah itu.
“Ck, lo berani sama gue, hah?!” sentak Dava turun dari motornya lalu mendekat pada Linzy yang menunduk takut.
“Sekali lagi. Cepat lari berputar lapangan sekarang juga atau–”
“Tapi, kan lapangannya besar gimana gue lari kalo besar seperti it–”
“Cewek murah*n kayak lo pantas lari keliling lapangan besar seperti ini!” ucapnya dingin memuat Linzy menghela nafas tidak berani menatap mata Dava yang menyorot tajam.
Apa Linzy semur*han itu? Padahal Linzy tidak pernah dekat atau berhubungan dengan yang namanya cowok.
“Jangan bilangin gue murah*n, gue nggak murah*n seperti yang lo kira. Gue nggak terima, ya kalo lo bilangin gue seperti itu!”
“Lo siapa ngatur-ngatur gue?!” suara Dava bertambah dingin lalu membuang wajah ke arah lain.
“Pergi!” suruhnya dengan kas*r.
Setelah memastikan Linzy berlari mengelilingi lapangan, Dava segera meninggalkan gadis itu dan masuk ke dalam kelas.
Sementara di sisi Linzy. Nampak, gadis itu sedang mengusap peluh keringat yang membasahi wajahnya hingga seragamnya pun ikutan basah.
“Ah, Panas! Apa dia gil4? Masa gue di suruh lari keliling lapangan sebesar ini? Mana panas banget!”
Sesaat Linzy terkekeh sinis. “Dasar miskin! Gue pantas di hukum seperti ini sama halnya anj1ng yang di suruh untuk mengambil sebuah kayu lalu, berlari memberi kayu itu pada Tuannya.”