Bangunan Tinggi

329 47 4
                                    

"Appa, tempat ini terlalu luas untuk ku. Temani aku disini, aku sendiri"

Kini suasana sunyi, penerangan hanya timbul dari celah jendela oleh sinar rembulan. Hewan malam nampak senang akan kedatangannya, mereka seolah menari diatas tumpukan kardus itu.

Suara gertakan dari tumpukan benda-benda usang tak mengganggu lamunannya. Laki-laki itu masih setia duduk disana. Ia sama sekali tak berpikir bagaimana hari esok, bagaimana ia bisa datang ke sekolah.

Appa tak pernah membuatnya di hukum karena sering membolos. Saat-saat seperti ini, ia selalu datang ke sekolah dan memberi tahu semua guru bahwa putranya sedang sakit.

Jong suk memiliki banyak uang, ia juga bahkan bisa dengan langsung meminta sekolah untuk meluluskan putranya. Itu menjadi bukti bahwa uang adalah senjata. Dan untuk 'uang adalah segalanya' menurutnya itu tak benar. Jika uang segalanya, "maka perintahkan dokter untuk menghidupkan Yoona, akan ku bayar berapa pun itu" katanya. Terbukti tidak kan?

Chenle sendiri bingung harus apa. Berkali-kali ia menjelaskan bahwa semuanya takdir, Appa hanya tersenyum. Baiklah, mungkin ia sudah memaafkan kejadian itu. Namun, sepertinya salah. Appa memendam segalanya yang akhirnya terbongkar sekarang. Hati dengan lisan memang berbeda. Kadang kita mendengar mereka berbicara ikhlas, tapi belum tentu apakah hatinya berucap sama.

Ia tak tahu sekarang pukul berapa. Burung tak berhenti berkicau diatas sana. Sunyi sekali. Mata itu masih terjaga, berkedip setiap detiknya yang terus berharap seseorang datang membawanya keluar.

Chenle teringat saat ia terkurung ditempat sempit dulu. Saat Jeno Hyung membiarkannya berhari-hari di gudang belakang. Sama seperti ini, tapi mungkin lebih seram sekarang.

Chenle menatap sekitar, di matanya sekarang hanya ada kegelapan. Ia tak tahu harus melakukan apa, tubuhnya sakit penuh dengan lebam. Chenle menghembuskan napas panjang, mendongakkan kepalanya bersandar ditumpukkan kardus.

Matanya menatap lurus bangunan tinggi itu. Atap yang menjulang, berwarna hitam kotor, seperti tak berpenghuni puluhan tahun. Chenle beranjak, sampai kapan ia menunggu ada orang yang memberinya makan? ia tak mau mati kelaparan.

"Aku yakin disini pasti ada sesuatu yang bisa ku makan" monolognya. Matanya sibuk berkeliling mencari sesuatu yang ia cari.

Sepertinya ia telah menemukannya. Mangkuk yang tak terlalu besar itu tergeletak disudut sana. Chenle melangkah mendekat, mengambil benda lengkung itu. Hanya ada nasi yang tercampur air, warnanya menguning, seperti sudah lama terendam.

Terdengar helaan napas samar. Chenle duduk diatas lantai kotor itu, memandang sejenak nasi yang membengkak. Perlahan dengan kemantapan hatinya, ia memasukkan nasi itu kedalam mulutnya. Matanya terpejam, merasakan rasa yang pasti asing di lidah.

Satu suap sudah berhasil tertelan. Sepertinya, perutnya belum juga merasa kenyang, satu suap tak membuat siapa pun merasakan cukup. Chenle kembali memejamkan mata, jika ia melihat bentuk nasi itu masuk kedalam mulutnya, mungkin makanan itu tak akan tertelan.

Entah bekas siapa itu, dan sudah berapa lama nasi itu, ia tak peduli. Rasa lapar yang menggerogoti perutnya mengalahkan rasa jijiknya. Nasi itu habis. Chenle menelannya dengan perlahan. Rasa mual yang ia tahan akhirnya selesai, tidak perlu minum, air dari rendaman nasi itu sudah membasahi tenggorokannya.

Ia meletakkan mangkuk itu, lalu tersenyum, "makanan ini sangat istimewa, aku tak pernah memakannya" ucapnya sendiri, menatap mangkuk kosong.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Laut dan Keindahannya [Chenle] {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang