Haechan Hyung sudah pergi beberapa jam lalu. Ia sempat menawari untuk pulang bersama menggunakan motornya. Namun, aku menolak. Dengan alasan, aku masih ingin singgah disini.
Ia hanya mengangguk tadi. Tak bisa memaksa, karena aku sedikit mendorongnya agar lekas pergi. Lelaki itu mendumal, aku tak peduli. Hanya cekikikan saat melihat raut wajahnya.
Makanan di atas meja masih tetap sama. Semua camilan goreng sudah dingin semua. Tak tersentuh sedikit pun. Aku tahu, selera makan orang akan turun ketika mendengar berita yang tak mengenakkan. Aku mengalaminya tadi.
Aku tidak memesan makanan lagi saat ini. Tangan ku letakkan di dagu untuk menopang kepala. Aku melihat ke jendela. Tak ada yang menarik untuk di pandang.
Mata ku beralih ke foto itu, yang tergeletak di meja. Aku menghela napas dalam. Mengamati lamat-lamat. Rupanya Appa sangat sangat bahagia. Tawanya penuh, dan di sampingnya, wanita itu juga sama. Genggaman mereka erat sekali.
Aku meletakkannya kembali di meja. Kali ini posisinya terbalik. Aku tak mau mataku kembali melihat itu lagi.
"Sekarang aku bahkan tidak tahu harus apa, harus kemana, dan harus berbicara dengan siapa." ucap ku sendiri.
Hyung-deul pasti belum tahu. Atau... mereka sudah tahu lebih dulu? Ah, aku benar-benar tidak peduli. Toh, mereka akan tetap memandangku sebagai anak kecil yang tak tahu apa-apa.
Tapi bagaimana jika mereka tidak tahu? apa aku harus memberi tahu? Ah tidak tahu! Aku tidak mau tahu!
Aku menyilangkan kedua tangan. Mendengus kesal. Pikiranku selalu tertuju kesana, namun hatiku berbeda.
Lonceng kecil yang tergantung di ujung pintu berbunyi. Itu pertanda ada pengunjung yang datang. Namun dari kejauhan, aku menyipitkan mata ke arah sana. Mencoba melihat dengan jelas pada lelaki dengan setelan kaos dan celana hitam yang dikenakan.
Setelah itu, mataku melebar sempurna. Aku memalingkan wajahku ke jendela, berpura-pura tidak melihat. Tapi sepertinya lelaki itu tahu.
Di ujung mataku, aku melihat ia mendekat. Namun aku kekeuh untuk tetap menatap jendela.
"Jisung-ah?" sapanya setelah tiba.
Tiba-tiba saja lelaki itu memegang bahuku. Aku kikuk, tak tahu bagaimana cara meresponnya.
Dengan ujung mataku lagi, aku melihat ia duduk di depanku. Seperti aku bersama Haechan Hyung tadi. Kepala semakin ku miringkan. Oh Tuhan. Bagaimana ini?!
Aku tetap pada posisi ini. Jujur saja, leher ku pegal.
"Apa ada sesuatu yang menarik?" tanyanya, ikut melihat ke jendela.
Aku gusar. Aku tidak nyaman.
Dengan cepat mata ku menatapnya. Bukan tatapan seperti biasa, kali ini sedikit berbeda.
"Ada perlu apa Hyung ke tempat ini?" aku bertanya dengan nada sedikit ketus.
Ia tersenyum, lalu menyingkirkan makanan dingin yang berserak di meja.
"Kau sudah menghabiskan berapa puluh piring?"
Bibir pucat itu tertawa.
Melihatnya tertawa meski sudah banyak masalah yang menimpanya, aku sedikit sedih. Bibir itu masih setia tersenyum pada orang-orang. Mungkin di luar sana mengira, bahwa hidupnya ringan tak ada beban. Nyatanya? sebaliknya.
Beberapa detik mata kami bertatap. Setelah itu kembali ku palingkan.
"Jisung-ah, bagaimana kabarmu? beberapa hari ini kita tidak bertemu." ucapnya, diselingi tawaan kecil di akhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laut dan Keindahannya [Chenle] {On Going}
Ficción GeneralKecelakaan itu benar-benar tak terduga. Kecelakaan itu merenggut satu nyawa. Seseorang yang seharusnya berada di dunia, hidup bahagia dengan keluarganya, ia harus mati sia-sia menyelamatkan anak laki-lakinya. Semua terpuruk. Terlebih lagi dengan an...