Kata siapa Jisung tidak merasa khawatir sekarang? Buktinya, ia mondar-mandir mengelilingi kamar. Dengan gigi yang setia menggigit kuku.
Sesekali ia melirik ponsel, barangkali Chenle mengiriminya sesuatu. Namun yang ia tunggu tak datang juga. Jisung melempar asal benda pipih itu. Bukan ke lantai, tapi ke kasur. Masa iya ponsel satu-satunya rusak. He he.
"Huh! Jika begini akhirnya, kenapa tadi aku tak menghampirinya saja?" ia berdecak.
Hatinya dongkol sekali. Gengsi yang tinggi membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. Gengsi itu mengalahkan segalanya, ya? Mau minta maaf saja gengsi. Apa lagi soal mengutarakan cinta. Ya itu, gengsi namanya.
Sebelum Jisung sampai rumah, ia melihat Chenle yang dibantu banyak orang untuk berdiri. Bagaimana ia bisa tahu? Jisung tak sengaja melihatnya tadi sebelum menaiki mobil yang ia pesan.
Bahkan walaupun mobil itu sudah jalan, Jisung tetap menghadap ke belakang. Mata bulatnya tak henti menatap lelaki yang terlihat kesulitan berdiri.
Sampai akhirnya, pemandangan itu tak nampak lagi.
Ia mendengus gusar. Mulut itu ingin sekali bergerak mengucapkan 'Ahjussi, tolong putar balik' tapi sulit. Kenyataan yang baru saja ia dapat tak memungkinkan hatinya untuk kembali luluh.
Tetap saja. Dia. Pembunuh.
"Eoh? Adik ku sedang apa?"
Suara dari ambang pintu meleburkan lamunannya. Jisung menoleh ke sumber suara, lalu tersenyum menghampiri.
Tangannya bergerak membuka pintu agar semakin lebar, dan mempersilahkan Jaemin masuk ke dalam kamarnya.
"Jeno Hyung sudah berteriak beberapa kali tadi, kenapa tidak turun?" tanya Jaemin setelah duduk di sofa.
Yang ditanya bukannya menjawab, ia hanya memajukan bibir. Siapapun yang melihat pasti ingin sekali mencubit! Jaemin pun begitu. Ia memajukan dirinya hanya untuk mencubit pipi yang menggembung itu. Jisung meringis, lalu memukul pelan lengan Jaemin.
"Ada apa? sedang mengkhawatirkan sesuatu?"
Hyungnya ini benar-benar seperti cenayang yang tahu banyak hal. Bahkan untuk melihat isi hati saja bisa di raba dengan raut wajah. Salah satu kelebihan Jaemin ya itu.
Jisung ikut duduk di sampingnya. Ia mendesah pelan namun masih bisa terdengar. Jaemin dengan intens menatap setiap lekukan di wajah adiknya. Barangkali ia bisa menemukan masalah sekarang.
"Hyung, ada yang ingin kau sampaikan?" tanya Jisung pelan.
Sungguh, dalam hatinya, ia sangat ingin Jaemin memberi tahu apa yang terjadi sekarang dan yang lalu. Tentang Chenle, dan foto Appa yang bergandengan tangan itu. Sengaja Jisung bersabar menunggu lama agar Hyungnya itu memberitahu tentang masalah ini. Namun sama sekali tak ada hasil. Mulut itu terus tertutup yang entah kapan akan memberitahu.
"Iya, adakah sesuatu yang ingin kau sampaikan?" tanyanya sekali lagi. Masih dengan nada sama.
Mata mereka bertemu. Jisung bergantian menatap mata teduh itu, mencoba mencari jawaban disana. Tetapi lelaki itu tetap diam. Sudah benar dugaannya, bahwa semuanya benar. Jaemin tak akan memberitahu dengan mudah.
"Tidak ada. Lalu kau? Ada yang ingin kau ceritakan, hm?"
Jisung mengedarkan bola matanya ke arah lain.
"Aku sudah tahu, Hyung." ucap Jisung tanpa menatap.
Anak itu tak kuasa menahan gejolak yang menusuk hatinya.
Jisung menyeka air mata, "Kau tak perlu menyembunyikan lagi." sambungnya.
Jaemin yang semula memandang, kini dengan cepat memalingkan wajahnya. Rahasia yang bertahun-tahun ia simpan sudah terbongkar. Adiknya sudah tahu penyakit dari keluarga ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laut dan Keindahannya [Chenle] {On Going}
Ficção GeralKecelakaan itu benar-benar tak terduga. Kecelakaan itu merenggut satu nyawa. Seseorang yang seharusnya berada di dunia, hidup bahagia dengan keluarganya, ia harus mati sia-sia menyelamatkan anak laki-lakinya. Semua terpuruk. Terlebih lagi dengan an...