Khawatir

433 60 6
                                    

Deburan itu terasa menenangkan bagi ku. Lihat, mereka seperti berlomba siapa cepat menyentuh bibir pantai. Suaranya tak pernah berhenti, tak pernah berubah. Tapi, aku selalu menyukainya.

--------

Jeno mengulurkan tangan "Ku bantu kau berdiri"

Apa? aku tidak salah dengar kan?

Chenle tersenyum. Ia menyambut tangan itu. Pikirnya sekarang ia bisa bertemu dengan adiknya. Namun, sepertinya hayalan terlalu menguasai pikirannya.

Jeno menarik paksa tangan kecil itu. Menariknya tanpa rasa iba sedikit pun. Chenle hanya mengikuti tanpa sedikit pun berontak, tidak ada tenaga sekarang. Bahkan untuk bisa berdiri pun itu anugerah baginya.

"Hyung, apa yang sekarang ingin kau lakukan?" Chenle terduduk lemas di lantai kumuh itu. Tubuhnya terbentur lantai saat Jeno dengan sengaja melempar tubuh kecilnya.

Jeno membungkuk, mensejajarkan tingginya. "Tenanglah, aku tidak akan membuat mu mati" Jeno memukul pelan kepala Chenle.

"Kau bisa katakan pada ku Hyung. Apa kesalahan ku, akan ku perbaiki..."

"Kesalahan mu? KARENA KAU LAHIR BODOH!" Ia menendang tubuh ringkih itu. Lagi-lagi tanpa rasa kasihan. Berkali-kali tendangan keras mendarat di perut Chenle, tanpa jeda.

"C-cukup, Hyung..."

"Ingin ku jelaskan lagi?" Jeno menjeda kalimatnya. Mendongakkan paksa lelaki di hadapannya.

"Kau membunuh eomma, kenapa tuhan mengambilnya secepat itu? bahkan... bahkan aku belum membahagiakannya? Kenapa kau membunuhnya? seharusnya kau yang mati, kenapa harus eomma? KENAPA?! JAWAB AKU PEMBUNUH!!" Ia menunduk, menangis tanpa suara. Bahunya bergetar menahan isakan tangis yang siap kapan saja terdengar. Seperti tertusuk seribu pisau, sungguh hatinya begitu sakit.

"Aku tak mengizinkan mu untuk hidup bahagia di dunia ini, kau harus menggantikan ini semua, pembunuh" Jeno menarik kasar rambut hitam adiknya, membisikkan kalimat pedih itu. Kemudian melenggang pergi tanpa memedulikan Chenle dengan darah di sekujur tubuhnya.

"Maaf kan aku, Hyung..."

Gelap

----------

Sementara di sisi lain, ke tiga namja itu mengkhawatirkan sahabatnya yang menghilang beberapa hari ini. Sudah beberapa hari mereka tak melihat. Mereka sudah berkali-kali menelpon, namun tak ada jawaban sama sekali.

"Renjun-ssi, bisakah kau diam?" Perintah Haechan. Melihat ia bergerak kesana-kemari membuat matanya ikut pegal.

Renjun sontak duduk, wajahnya tak berhenti bertanya kemana namja putih itu?

"Tenanglah, Chenle baik-baik saja" Mark menenangkan sahabatnya. Padahal ia sendiri kalang kabut dengan pikirannya.

Bisa di lihat sekarang, antara ke empat sahabat itu yang paling banyak mengkhawatirkan sesuatu adalah Renjun. Bahkan Haechan datang telat saja pikirannya sudah berkelana kemana-mana. Ia berkata Haechan mengalami kecelakaan, padahal ia hanya terjebak macet.

Haechan hanya mendengus kesal saat itu. Bagaimana jika perkataan Renjun benar-benar terjadi?

Untuk hal ini, mereka sudah tidak heran lagi melihat Renjun berjalan kesana-kemari sambil menggigit kuku. Itu sudah menjadi kebiasaannya.

"Renjun-ah, tenang lah sedikit. Kau tahu kan seberapa brutalnya Chenle? jika ada yang menyakitinya ia tak segan-segan untuk memenggal kepala orang itu" ucap Haechan, memberikan secangkir minuman yang mereka pesan.

Laut dan Keindahannya [Chenle] {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang