Ketika dunia tak lagi menyenangkan bagimu, maka pergilah!
Jangan lupa nyalakan playlist🎧
Hppy reading♡,♡Matahari menyingsing saat aku turun di pemberhentian terakhir. Kesedihanku membawaku pergi jauh menuju ke pinggiran kota Luminara. Melarikan diri dari ramainya dunia yang menikam.
Aku berjalan melewati desa, hingga kutemukan Hutan Mati. Sempat berhenti beberapa detik di depannya, lalu lanjut berjalan. Menyusuri sepetak jalan dalam hutan. Semakin masuk ke dalam, semakin mencekam. Hutan ini tidaklah mati, tapi memiliki aura kematian.
"Aw!" Kakiku tak sengaja mengenai ranting tajam, hingga terluka. Ah, hutan ini terlalu gelap untuk kulihat sekitarnya. Sesungguhnya hutan ini diberkahi kesuburan, saking suburnya sinar matahari tak dapat masuk ke dalam.
Aku terduduk, memegangi kakiku yang terluka, menahan darahnya agar tak keluar, tapi tetap saja ia mengalir di sela-sela jari. Aku merobek ujung baju untuk mengikat luka, sambil menangis. Lukanya memang tak seberapa, tapi ketika mengingat aku sendirian sekarang, rasanya jadi menjalar ke ulu hati.
"Andai ada Ibu, andai ada Ayah. Andai semua baik-baik saja, maka semua tidak akan begini." Terus kuulang kalimat perandaian, maka teruslah aku merutuki nasib.
Lalu kucoba bangkit lagi, berjalan pincang, tak apa! Asal tenang.
Limabelas menit berjalan dalam hutan, akhirnya kutemukan cahaya. Langkahku semakin cepat, tak peduli jika sakit. Semakin dekat dengan cahaya itu, semakin keras kudengar sahutan ombak yang menderu.
Pantai Senja, akhirnya aku sampai padanya. Tempat yang paling sering kutuju sewaktu kecil. Aku duduk di bawah pohon rindang yang menaungi, menghadap ke laut, menjadikan kardigan kesayanganku sebagai alas.
Aku sengaja pergi ke mari untuk menenangkan sekaligus menyenangkan diri. Namun, pada saat aku mencoba memejamkan mata - menikmati kenyamanan dan keamanannya - semua kejadian berputar ulang dalam kepala.
Suara-suara, tragedi-tragedi, bagai film dokumentar yang mengerikan. Memang tragedinya hanya sekali, tapi berputar ulang berkali-kali. Semakin memejamkan mata serta menutup telinga, semua menjadi semakin nyata.
Bahuku bergerak naik turun, seiring dengan isak yang semakin sesak. Hingga kuteriakan segala rasa sakit, membiarkan udara membawanya pergi ke lautan.
Kuhabiskan waktuku hanya untuk menangis, sampai tak sadar sesuatu bergerak di sekitarku. Dia menyentuh pundakku, tapi aku tidak mempedulikannya. Kukira itu daun jatuh, atau apapun, tapi hal itu terjadi berulang.
Sampai akhirnya aku putuskan membuka mata untuk meluapkan emosi karena telah menggangguku. Namun, keningku berkerut ketika mendapati seorang anak kecil yang senyumnya teramat manis. Aku jadi tidak tega memarahi.
Kuhapus airmataku, kunetralkan suaraku, lalu kuukir senyuman untuknya. "Hai, dengan siapa kamu kemari?" sapaku.
Dia tak menjawabku, dia hanya tersenyum dan menyerahkan setangkai mawar putih, serta foto polaroid. Setelah kuterima pemberiannya, dia pergi tanpa kejelasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meant to Be;-
Romance- manusia selalu ingin yang lebih. Meant to be; kita ditakdirkan untuk menjadi, tapi tidak untuk bertahan;- ditakdirkan untuk saling mencintai, tapi tidak untuk saling memiliki.