"Sifat asli manusia itu licik dan membinasakan, anda saja yang terlalu percaya pepatah, 'kalau kita baik, orang juga akan baik pada kita'."
- Arjuna Hadrian
Di sebuah halte bis, aku duduk memeluk lutut. Hari ini sudah sangat begitu berat untuk kulalui, dan aku kelelahan. Rasanya ingin menyerah saja. Tenggelam dan menghilang.
Lalu sebuah nama terlintas dalam benakku begitu saja, sebuah cuplikan menyenangkan berputar ulang, lalu terukir sebuah senyuman di wajahku tanpa diduga. Mahija, dia memiliki banyak hal yang dapat membuatku tersenyum kembali.
Dia lucu, juga indah. Seperti senja.
Sebuah mobil sedan hitam berhenti mendadak, menciptakan decitan nyaring yang memekakkan telinga, membuatku kembali ke kenyataan. Aku menghela napas berat, akan selalu ada saja yang mengganggu ketenanganku.
Kaca mobil itu terbuka menampakan seorang pemuda yang usianya berada di atasku. "Masuklah, Ayah anda menyuru saya menjemput."
Arjuna Hadrian.
Sempat ragu, tapi apa yang harus aku ragukan? Toh dia adalah seorang pengacara terkenal di negara ini, juga dapat dipercaya. Maka aku menurut saja. Karena tidak mungkin seorang pengacara melakukan tindak kriminal.
... yah, meski kalau di novel-novel atau film bisa.
Agar tetap aman, aku mengambil tempat di kursi penumpang. Di belakang.
"Kenapa duduk di belakang? Saya bukan seorang sopir, Kalana. Pindah!" titahnya, tidak bisa diganggu gugat.
Dan lagi, aku menurut.
Setelahnya, tidak ada pembicaraan apapun antara aku dan dia. Meski ada banyak pertanyaan dalam benakku, aku memilih diam. Sampai mobil kembali berjalan, melaju di tengah kota, menyalip beberapa pengendara lain.
Dalam perjalanan pulang- ah tidak, ini bukan jalan pulang. Entah kemana dia akan membawaku pergi. Jangankan untuk bertanya, untuk sekedar menatapnya saja aku enggan. Oh, lihatlah rahang tegas dan tatapan tajamnya! Auranya terlalu mencekik.
"Saya sudah baca dokumen yang anda berikan kemarin. Semua alasan anda masuk akal bahwa Beloved memang benar karya anda sendiri," akhirnya dia memulai bicara.
Aku mengerutkan kening, agak kesal dengan kalimatnya. "Itu bukan alasan, itu memang bukti," tegasku.
"Ya, maksud saya begitu."
Pak Arjuna membuka sebuah laci, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sana. "Ini," dia menyerahkan kotak itu padaku.
Karena aku tak kunjung mengambilnya, dia kembali berujar, seakan menjawab segala pertanyaan yang ada dalam kepalaku. "Itu dari Tuan Darma. Katanya, anda juga mengalami teror di sosial media, sampai ponsel yang tidak bersalah pun anda banting."
KAMU SEDANG MEMBACA
Meant to Be;-
Romance- manusia selalu ingin yang lebih. Meant to be; kita ditakdirkan untuk menjadi, tapi tidak untuk bertahan;- ditakdirkan untuk saling mencintai, tapi tidak untuk saling memiliki.