Segalanya menjadi lebih dramatis karena sesuatu yang diciptakan oleh isi kepala.
Hppy reading^^
Tuhan, bisakah ini hanya mimpi?
Dan pada detik selanjutnya, aku terbangun dengan napas tersenggal. Orang-orang berkuda, Hutan Mati, gaun megah, lalu terbunuh. Mimpi itu terus datang setiap kali aku terlelap.
Mimpi bukankah hanya bunga tidur? Tapi kenapa berulang? Seperti ... deja vu, seakan aku pernah mengalami kejadian itu, seakan itu adalah hal yang nyata— ah, bukankah mimpi memang selalu terlihat nyata?
Aku terperanjat kaget ketika sebuah ketukan pintu terdengar, membuyarkan lamunanku. Belum sempat aku bergerak, seseorang dari balik pintu itu sudah memunculkan kepalanya. Dia tersenyum, mirip dengan senyum yang dimiliki Ayah—
Tidak, tidak. Lupakan, itu tidak penting.
"Bagaimana keadaanmu, Kalana?" Paman Bashar masuk dengan meja kecil berisi roti dan susu, lalu ketika sampai di sisi ranjang, dia letakan meja itu ke hadapanku.
Aku tersenyum, saat dia mencoba memeriksa suhu tubuhku. Kuambil tangannya yang menyentuh kening lalu berujar, "sudah lebih baik, Paman."
"Syukurlah, demamnya juga sudah turun." Ya, aku mengalami demam lebih dari seminggu, hampir saja Paman hendak membawaku ke kota untuk periksa ke dokter — karena di sini tak ada dokter — jika aku tidak bersikeras menolaknya.
"Ini, sarapan sudah Paman siapkan. Kamu baik-baik sendiri ya? Paman pergi kerja dulu."
Aku mengangguk patuh, "baik Paman, terima kasih!"
"Oh, atau kau mau Paman buatkan sarapan yang lain? Tumis kerang, misalnya," tawarnya dengan senyum yang merekah. Hari ini dia terlihat sangat bahagia, mungkin karena melihatku yang sudah sembuh.
"Memang ada kerangnya?"
Dia meringis, "tidak, Paman harus membelinya ke pasar terlebih dulu."
Aku tersenyum, "kalau begitu tidak perlu."
"Bagaimana kalau nasi goreng?" tawarnya lagi.
Aku menggeleng, "tidak usah Paman, nanti kalau aku ingin, aku bisa membuatnya sendiri."
"Benarkah? Kau bisa membuat nasi goreng?" Dia memicing, hampir tidak dapat memercayaiku.
Aku mengangkat dua jari, membentuk huruf C. "Sedikit," ujarku.
Paman tertawa renyah, tangannya bergerak mengusap puncak kepalaku, dengan penuh kasih sayang. "Baiklah, Paman kerja dulu. Nanti sepulang kerja, Paman berjanji akan membawakan kerang untukmu!" Setelahnya, Paman menghilang dari balik pintu.
"Dia selalu lebih baik dari Ayah."
Namun pada detik berikutnya, dia kembali memunculkan kepalanya dari balik pintu. Entah bagian mana yang lucu, tapi itu berhasil membuatku tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meant to Be;-
Romance- manusia selalu ingin yang lebih. Meant to be; kita ditakdirkan untuk menjadi, tapi tidak untuk bertahan;- ditakdirkan untuk saling mencintai, tapi tidak untuk saling memiliki.