1.

1.9K 236 14
                                    

"Soraya," temanku memanggil.

Aku menoleh ke arah pintu rumah sederhanaku yang dibiarkan terbuka, kemudian menemukan teman masa kecilku Dewi sedang melepas sepatunya disana, di ambang pintu rumahku.

"Udah dapat panggilan kerja dari perusahaan yang kemarin?" Tanyanya lagi usai kakinya melangkah masuk kedalam rumahku.

"Belum," aku menjawab.

Aku berusaha menampilkan senyum terbaikku kepadanya, walau sesungguhnya hatiku sedang luar biasa gusar, karena semua lamaran kerja yang kukirim sejak tiga bulan yang lalu ke beberapa perusahaan, tidak ada satupun yang membuahkan hasil.

Maksudku, tidak bisa di salahkan juga. Selain karena memang aku tidak memiliki gelar di depan atau belakang namaku sebagaimana Dewi yang telah menempuh jenjang pendidikan di universitas ternama, aku juga tidak punya pengalaman kerja. Jaman sekarang, rata-rata perusahaan tidak mau menerima seseorang sepertiku yang minim pengalaman kerja, pun sudah seumur setua ini.

Apalagi, ditambah aku pernah punya riwayat menjadi mantan narapidana.

Lima tahun hidupku yang seharusnya kuhabiskan dengan mencari pengalaman, belajar dan lain-lainya malah harus mendekam di sel ukuran empat kali empat di rutan wanita.  Jadi tidak heran, kalau tidak ada yang mau menerimaku menjadi pegawainya.

Hidupku sejak keluar dari rutan juga berubah seratus delapan puluh derajat. Kenyataan kalau ibuku sudah lama meninggal tak lama sejak aku masuk penjara membuatku tak bisa bergerak sebebas dulu. Sementara ayahku, laki-laki brengsek itu memang tak pernah sekalipun kulihat batang hidungnya sedari aku kecil.

Sementara Dewi, teman masa kecilku yang tubuhnya molek bak biduan dangdut itu adalah satu-satunya temanku yang masih mau berhubungan denganku walau tau aku adalah mantan narapidana. Sungguh aku bersyukur memiliki Dewi, walau terkadang mulutnya tidak bisa dikondisikan dalam keadaan tertentu.

Dewi gemar berkata kasar, dan agak vulgar.

"Malam-malam kesini, mau ngapain Wi?" Tanyaku, yang kebetulan saat ini sedang berdiri di depan televisi sembari memegang gelas berisi air putih.

Dewi menggeleng, lalu mengibaskan tangannya penuh semangat "Sini cepetan, duduk dulu." Ajaknya, sembari ia mulai duduk di sofa tua milik keluargaku tanpa di persilahkan terlebih dahulu.

Beruntungnya, walaupun sudah lama kosong, rumahku masih layak di huni. Bangunannya masih kokoh, perabotnya pun masih berfungsi dengan baik. Paling tidak, selepas keluar dari lapas wanita aku tak perlu risau mencari tempat tinggal, sementara di sakuku tak tersisa banyak uang.

Melihat Dewi sudah duduk manis di atas sofa, Aku kemudian mengikutinya dengan duduk persis disebelah perempuan berambut potongan shaggy itu. Tak begitu mengkhiraukan tingkah Dewi yang agaknya seenaknya.

"Lo tahu? Asisten manager gue sedang hamil besar," katanya, memulai narasi hiperbolanya yang aku tak tahu akan kemana ujungnya.

Bergunjing.

"Perutnya sebesar balon udara," Dewi melanjutkan. Matanya setengah melotot dengan horor.

Aku menarik napasku cukup dalam.

"Katanya sebelum lahiran dia mau balik ke kampungnya dia di Makasar." Dia tiba-tiba memegang tanganku "Dia mau resign dari kantor,"

Tuhan tahu, sesungguhnya aku tidak perduli dengan segala perkatan Dewi malam ini. Tetapi demi menghargainya aku terap menaikan kedua alisku, pura-pura terlihat tertarik dengan ceritanya. Aku tak mau menyakitinya dengan bersikap acuh hanya karena aku tidak perduli dengan cerita teman kantornya itu.

"Terus?" Tanyaku, masih berpura-pura tertarik.

Dewi setelah mendengarku bertanya dengan nada yang cukup menyenangkan di telinganya kemudian tersenyum lebar "Gue iseng nawarin lo buat gantiin teman gue itu, terus... Di aprrove Ray."

The MisshapenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang