Dua puluh tiga.
Tepat dua puluh tiga tahun hidupku, baru ini kali pertama aku merasakan berada di kabin nomer satu pada ketinggian hampir empat puluh ribu kaki. Lucunya, bukanlah tempat duduk mewah dan pelayanan crew-nya yang menjadi pusat perhatianku saat ini. Melainkan fakta kalau kita sedang melayang di atas awan dan itu sungguh membuatku tak berkutik di tempatku.
Setelah Rexton memastikan kalau passportku masih aktif, buru-buru ia menelpon kenalannya yang berada di kedutaan Jepang untuk mengurus visa dadakanku. Dan tentu dengan keterbatasan waktu yang kita punya, hanya terbit tepat seminggu visaku untuk berkunjung. Itu pula dengan perjanjian tidak boleh keluar dari area Tokyo dan Kyoto.
Tak masalah bagiku, sungguh. Satu-satunya hal yang menjadi masalahku saat ini adalah aku takut ketinggian, dan mengetahui kalau sekarang kita berada di ketinggian hampir empat puluh ribu kaki, membuat sekujur tubuhku gemetar.
Aku takut ketinggian, dan itu tidak bisa disangkal walaupun kami berada di dalam kabin paling mewah di dalam pesawat.
Lain hal nya dengan Rexton. Dia yang sedari awal duduk di atas kursi mewah ini tampak begitu santai berkutat dengan tabletnya. Tidak ada gurat-gurat cemas pun takut atas fakta ini, seolah seperti ia sudah mempercayakan seluruh hidupnya kepada si Pilot dan Co.Pilot yang sedang mengemudikan pesawat.
Bolak balik si pramugari cantik menawariku macam-macam, tetapi dengan halus kutolak karena sungguh boro-boro bisa melahap sesuatu, bisa bernapas saja rasanya sudah syukur. Rex beberapa kali mengecek ke arahku, sebelah tangannya yang bebas beberapa menit sekali menyentuh tanganku hanya untuk mengelusnya.
Cukup menenangkan ketika ia melakukan itu. Tetapi karena sadar diri kalau tentu perhatian Rex bukan hanya untuk aku, kutepis tangannya kalau sudah terasa terlalu lama ia menggenggam tanganku. Lagi pula, bukan hanya karena itu saja. Genggaman tangannya yang nyaman itu hangatnya sampai menembus ke jantungku, dan tentu itu sangat bahaya.
"Kamu belum makan apa-apa sejak tadi," Rex bertanya tangannya lagi-lagi menggapai tanganku.
"Aku gak laper," balasku, kaku.
"Minum gak mau?"
"Gak haus juga,"
"Masih sekitar empat jam loh, Ray kita di atas pesawat. Kamu yakin gak mau coba apa-apa?"
Punggungku menempel sepenuhnya dengan sandaran kursi, sabukku tak kulepas sama sekali sejak tadi. Aku pelan-pelan memberanikan diri untuk menoleh ke arahnya. Tak menjawab pertanyaanya, hanya menoleh saja untuh melihat wajahnya yang tampan itu.
"Hm?" Dia ikut menatap wajahku. "Mau pesan apa?"
Oh Tuhan!
Bahaya sekali menatap ciptaanmu yang satu ini. Tak mau kalah dengan getaran pesawat yang cukup kencang itu, hatiku ikut bergetar ketika mata kami bertemu.
"Aku baik-baik saja," kataku.
Dan di balas olehnya dengan senyuman saja sebelum kemudian ia memanggil salah satu pramugari entah meminta apa. Beberapa menit berlalu hingga kemudian pramugari tersebut kembali lagi dengan membawa nampan berisi piring yang sudah penuh dengan beberapa macam buah-buahan.
Aku melihat ada stroberi dan melon di ujung piring ketika sengaja melirik ke arah sana, dan Tuhan tahu betapa aku menyukai kedua buah itu. Aku menelan ludahku cukup sulit. Dalam hati berjanji kalau sudah mendarat di Jepang nanti Strawberry dan melon lah yang pertama kali akan kucari.
"Pilot dan Co Pilot pesawat ini sudah puluhan kali menemaniku terbang lima tahum terakhir," Rex bermonolog sembari menusuk buah melon dengan garpu kecilnya "Dan aku masih baik-baik saja hingga saat ini,"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Misshapen
RomanceHe's misshapen. His love is misshapen. We look grossly misshapen. But i love his misshapen...