Prolog

3.8K 333 57
                                    

Katakanlah seperti ini.

Aku pernah menjadi perawat. Perawat biasa, yang bukan perawat profesional yang mempunyai sartifikat atau gelar tertentu karena telah usai menempuh jenjang pendidikan yang layak. Aku adalah perawat karena tampaknya tidak ada orang yang bisa, pun mau merawat pasienku kala itu.

Dia adalah Rex, saat itu umurnya tak jauh beda dengan aku. Hanya terpaut lima tahun. Aku delapan belas tahun tahun, sedangkan dia dua puluh tiga tahun. Tubuh Rex tinggi besar, wajahnya menurutku juga lumayan tampan kalau saja ia sering bercukur dan merapihkan rambutnya. Namun karena penyakitnya yang aku sendiripun ragu mengakuinya, laki-laki itu selalu saja membungkuk kalau berjalan, jadi tubuhnya terlihat tidak elok untuk di pandang.

Kata keluarganya, Rex di diagnosa autis ringan.

Ya, Autis. Tetapi menurutku yang sudah hampir dua tahun mengurus kebutuhan Rex kala itu, sepertinya Rex itu bukan mengidap gangguan syaraf sebagaimana yang di alami saudara laki-lakiku dulu.

Entah. Rasanya berbeda saja mengurus Rex dan juga mendiang kakakku. Aku rasa malah Rex sama sekali jauh dari kata autis, dia terlalu Normal untuk di katakan sebagai orang Autis.

Maksudku, aku jelas berpengalaman dalam mengurus anak autis. Lebih dari separuh hidupku sebelum akhirnya kakaku meninggal, aku mengurus saudara laki-lakiku yang autis itu sendirian-Itulah sebabnya kenapa aku bisa dipekerjakan dirumah Rex dahulu. Jadi aku tahu, bagaimana perilaku anak autis seharusnya. Tetapi, berbeda dengan yang kulihat pada Rex. Dia tampak jauh dari kata tidak waras.

Maka dari itu, aku sedikitnya merasa skeptis dengan diagnosa dokter keluarga ini yang mengatakan kalau Rex adalah anak berkebutuhan khusus. Maksudku, aku tahu dia sakit. Tubuhnya terkadang suka bergerak tidak semestinya, kata-katanya juga terkadang suka melantur. Tetapi sepertinya itu bukan autis, melainkan sesuatu di dalam dirinya tidak berfungsi dengan baik hingga ia bersikap seperti itu. Seperti ada tuas pelatuknya disana.

Entah, trauma masa kecil mungkin?

Selama dua tahun itu, aku selalu membantunya bercukur, merapihkan tampilannya agar tidak terlihat bagai orang gila. Membantunya berbicara karena tampaknya ia sulit untuk mengeluarkan suaranya bahkan di umurnya yang sudah sedewasa itu, hingga menemaninya melewati hari-hari sebagai anak berkebutuhan khusus.

It was fun.

Seperti kataku tadi, he's different dari anak autis lainya. Selain fakta kalau Rex belum bisa berbicara dengan jelas di umurnya yang sudah mau menginjak dua puluh tiga tahun, menurutku dia adalah laki-laki yang sangat pintar.

Dia cenderung lebih cepat tangkap dibanding saudara laki-lakiku, dia juga tidak pernah tantrum yang sampai merusak barang-barang disekitarnya.  Dia sangat menurut, tidak pernah berteriak-teriak sampai memekakan telinga sebagaimana orang autis pada umumnya.

Rex terlihat begitu normal, aku berani jamin kalau melihat Rex, orang lain pasti tidak akan sadar kalau dia pengidap gangguan syaraf. Tetapi sedihnya kedua orang tuanya selalu mengurung laki-laki itu dirumahnya yang sangat besar.

Padahal kalau dibiarkan keluar dan menjalani hidup sebagaimana mestinya, aku rasa Rex pasti akan menjadi anak yang membanggakan seperti saudara kandungnya yang dipandang hebat itu.

Sebetulnya aku tidak berhak mengatakan ini. Tapi, Biar kuberi tahu sebuah rahasia. Sesungguhnya Rex adalah anak pertama dari bosku. Bosku, Lazuardi Widjaya yang terkenal memonopoli bisnis perhotelan di negara kelahiranku ini. Anak pertama yang disembunyikan karena keterbatasannya itu.

Mereka hanya tau Ethan Widjaya adalah pewaris tunggal kerajaan bisnis Lazuardi Wijdaya. Tetapi tidak ada satu orangpun yang tahu kalau keluarga Lazuardi Widjaya mempunyai satu lagi anak laki-laki yang juga tak kalah rupawan dari saudaranya yang lain.

The MisshapenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang