Lima tahun lalu.
"Soraya," namaku terdengar di panggil.
Aku yang sedang menunduk membersihkan percikan air yang tidak sengaja di tumpahkan Rex di lantai saat makan siang tadi, mendongak lantas menemukan Bu Tara di sana sedang berdiri sembari memegang telepon genggamnya.
"Ya, Bu Tara," aku menjawab.
"Rex dimana? Udah selesai makan?" Tanyanya.
"Ya," aku menaikan kedua alisku kemudian berdiri menghadap Bu Tara. Sesungguhnya tidak tahu kemana laki-laki itu pergi usai ia menyelesaikan makan siangnya "Ke kamarnya, mungkin?"
Bu Tara menghembuskan napasnya, kemudian melipat kedua tangannya di depan dada "Akan ada therapist baru hari ini."
Aku menarik napasku, lalu mengangguk. Berusaha keras untuk tampak biasa saja di hadapan Bu Tara walau sesungguhnya aku ingin mendengus kencang.
Therapist baru katanya...
"Beri tahu Rex, supaya nanti dia tidak terkejut," dia melanjutkan. Matanya melirik ke arah tanganku yang sedang memegang serbet.
Dan aku mengangguk lagi.
"Laki-laki, umurnya sekitar awal tiga puluhan. Namanya Bambang." Bu Tara kemudian berjalan ke arah meja makan, memeriksa piring bekas makan Rex yang hanya bersisa tomat di ujung piringnya.
Rex tidak suka tomat.
"Go get him change." Matanya masih melihat tomat di piring Rex namun alisnya berkerut tak senang "Pakai baju warna putih saja. Make sure dia tahu kalau hari ini dia akan bertemu orang baru, Therapist ke tiganya tahun ini. Supaya dia bisa mempersiapkan dan mengontrol dirinya. Karena untuk menbuat janji dengan Bambang itu sangat sulit, jadi pastikan dia tahu."
Oh betapa makianku sudah berada di ujung lidah.
"Yes ma'am," Kataku sembari memaksakan senyumku untuk yang kesekian kalinya.
Bukannya apa. Hanya saja aku tidak mengerti dengan sikap Bu Tara yang seolah-olah seperti tidak perduli dengan Rex. Maksudku perempuan itu jelas tahu bahwasannya anak laki-lakinya itu tidak suka bertemu dengan orang baru karena respon tubuhnya suka di luar kendali. Tetapi entah, wanita itu terus saja membawa orang-orang baru untuk menemui Rex.
Contohnya seperti ini, Therapist baru. Minggu lalu bahkan Rex sudah susah payah menahan emosinya ketika Bu Tara mengenalkannya kepada anak temannya yang kurang ajar itu.
Namanya Edo, umurnya dua tahun lebih muda dari Rex. Tetapi kelakuannya persis seperti anak SD. Tanganku tak lepas menggenggam tangan Rex minggu lalu, menahan laki-laki itu agar tidak menerjang Edo karena Edo begitu mahir membuat orang kesal dengan menyentuh semua barang-barang pribadi Rex. Pajangan, lukisan, bahkan hingga miniatur-miniatur langka yang disimpan Rex didalam lemari kaca semua disentuhnya bagai tak punya sopan santun.
Rex juga bukannya yang menyembunyikan rasa tidak sukanya, ekspresinya jelas tergambar di wajahnya. Namun seperti kataku barusan, Bu Tara seperti tidak terlalu perduli. Dan aku tidak bisa apa-apa.
Masih teringat rasanya, bagaimana tubuh Rex bergetar menahan emosi. Aku yang melihatnya saja rasa-rasanya tak sanggup.
Kemudian minggu ini... Sangat amat disayangkan karena lagi-lagi Rex harus mengulangi rutinitas basa-basi itu lagi.
Harapanku, semoga si Bambang ini tidak menyebalkan seperti Edo. Atau paling tidak, Bambang mempunyai suara yang enak di dengar agar Rex tidak langsung terganggu.
"Oh, dan Soraya," Bu Tara kembali berkata. Masih bekum selesai ternyata. Kali ini telunjuk wanita itu terangkat "Nanti kamu tidak perlu menemani. Let him be alone with his new Therapist,"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Misshapen
RomanceHe's misshapen. His love is misshapen. We look grossly misshapen. But i love his misshapen...