"Dewi!" Aku berteriak.
Membuka pintu kamarnya yang berwarna putih gading itu, kemudian berlenggang masuk. Tak perduli dengan kenyataan kalau saat ini perempuan itu belum memakai baju dan hanya mengenakan handuk yang sedang membungkus kepalanya.
Dewi menjerit dengan panik begitu tahu seseorang membuka pintu kamarnya ketika ia belum mengenakan apapun. Matanya melotot, kedua tangannya menyilang di depan dadanya, sementara kakinya menekuk, menutup area kewanitaannya.
Wajahnya terlihat begitu panik, namun ketika akhirnya matanya bertemu dengan mataku, ketika akhirnya ia sadar kalau yang masuk ke kamarnya adalah aku dan bukan seseorang yang tidak ia kenal. Ia menghembuskan napasnya dengan panjang.
"Sialan lo Ray! Gue udah panik setengah mati. Gue kira abang tiri gue udah hilang akal dan berani-beraninya masuk kesini tanpa izin,"
Aku mengkerutkan alisku. Abang tirinya? Sejak kapan Dewi mempunyai Abang tiri? Dan hilang akal?
"Kenapa?" Dewi bertanya lagi, seraya ia mulai kembali menegakan badannya dan berjalan ke arah lemari bajunya dengan santai. Tanpa perduli dengan aku yang dapat melihat tubuhnya.
Aku tak terlalu mempermasalahkan sikap vulgar Dewi, karena memang sudah sejak dulu ia seperti itu. Saat ini, satu-satunya hal yang berada di kepalaku adalah...
"Kenapa lo gak bilang kalo kerjaan gue itu kaya begitu?" Aku menutup pintu kamarnya lalu kembali menatap ke arahnya?
"Begitu gimana?" Dewi berjalan ke arah lemari bajunya.
"Kaya begitu!" Aku mengotot. "Dateng ke acara satu ke acara lainnya. Tampil cantik untuk membuat calon Client gagal fokus?" Aku tiba-tiba terbayang wajah Mas Reza ketika petang tadi ia mengatakan hal serupa kepadaku.
"Ya terus?"
"Menarik perhatian Client? Gue? Lo berharap gue musti kayak gimana? Ngegodain mereka-mereka? Lo udah gila ya Wi?"
Dewi hanya menolehkan kepalanya sedikit ke arahku melalui bahunya. Kemudian ia terkekeh sembari mulai mengenakan pakaian dalamnya satu persatu.
"Ray, please deh." Katanya menghembuskan napasnya.
"Gue tahu gue mantan Napi. Gue juga tahu pengalaman hidup gue gak lebih banyak di banding lo. Masa lalu gue kelam. Tapi ini maksudnya apa coba? Lo berharap gue jadi cewek gak bener? Lo berharap gue mau ngegoda orang-orang itu, karena lo tahu gue udah gak punya masa depan?"
Mendengar aku mencak-mecak di kamarnya. Dewi sontak membalikan badannya dan menghadapku dengan wajah terkejut.
"Soraya!" tegurnya.
Aku menarik napasku yang tiba-tiba terasa sulit di raih ketika Dewi berjalan ke arahku. Langkah kakinya besar-besar, tatapan matanya menusuk ke dalam bola mataku seakan ia betul-betul marah dengan perkataanku barusan.
"Don't say that!" Dia berkata dengan tegas, telunjuknya mengacung di depan wajahku. "Jangan pernah sekali-sekali, lo ngerendahin diri lo sendiri seperti itu."
Aku menahan napasku kuat-kuat saat kedua mata kami saling bersinggungan dengan dua emosi yang berbeda.
"Lo tahu bukan itu maksud gue," Dewi mengangkat kedua tangannya untuk memegang kedua bahuku, selagi tatapan matanya mulai melembut "Bukan maksud gue ingin menjadikan lo perempuan seperti itu, ketika gue menawarkan lo pekerjaan di perusahaan gue,"
"Lo dari awal udah tahu akan seperti apa pekerjaan gue ini?"
"Udah,"
"Kenapa lo gak bilang-bilang dulu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Misshapen
RomanceHe's misshapen. His love is misshapen. We look grossly misshapen. But i love his misshapen...