"Kintan aja yuk,"
Aku menoleh ke arah Anita, perempuan yang masih satu divisi denganku juga Dewi, ketika ia mengajakku untuk makan siang di salah satu pusat perbelanjaan di Senayan Jakarta.
"Oma Elly, aja sih. Jam-jam segini lumayan, masih sepi. Gak waiting list." Sahut Mbak Asih, wanita berusia akhir tiga puluhan yang namanya cukup terkenal di kantorku sebagai kepala Service Quality Officer yang ramah juga fashionable.
"Atau Social Garden?" Anita kembali menyahut dengan Antusias. Sementara aku yang terpaksa berada ditengah-tengah mereka hanya terdiam saja sembari melempar pandang kepada Dewi yang berdiri tak jauh dariku.
"Menurut Lo gimana, Ray? Western atau Japan food?" Mbak Asih menoleh ke arahku. Tatapan matanya seperti sangat menantikan jawabanku.
Oma Elly?
Social Garden?
Apa aku perlu tahu tempat apa itu?
Kami sekarang berada persis di depan elevator Mall Senayan City, sedang bingung apakah harus naik ke atas untuk makan makanan bergaya jepang itu, ataukah turun ke bawah untuk makan makanan berbau pasta. Dewi yang tadi memaksaku untuk ikut makan siang bersama teman-teman kantornya dengan alibi 'ikut bergaul' menyenggol bahuku pelan.
"Hm?" Aku mengerjap beberapa kali. Menatap ketiganya secara bergantian lantas menahan napasku sedikit gugup.
Bolehkan kujawab kalau aku ingin makan kuwetiaw goreng dengan potongan cabe rawit dan kecap asin?
Aku mengusap belakang leherku dengan perasaan sedikit tidak nyaman "Menurut lo Wi?" tak mau menjadi pengambil keputusan yang mungkin bisa saja disesali, aku balik bertanya ke arah Dewi yang agaknya lebih paham dengan pertanyaan teman-temannya itu.
"Kintan sih gue," Dewi berkata "Promo PayDay lumayan tiga puluh persen."
Anita terkekeh mendengar perkataan Dewi, Mbak Asih menggeleng sementara aku pura-pura tertawa saja walau tidak begitu mengerti apa yang sedang dibicarakan. Aku mengerti arti PayDay. Hari gajian. Yang tidak kumengerti adalah, ternyata ada promo di hari gajian sebagaimana yang barusan dikatakan Dewi.
"Yaudah, naik," Mbak Asih, kemudian memencet tombol lift, dan tak berselang lama benda metal yang hampir setengah permukaannya adalah kaca membawa kami naik.
Selama masa remajaku, memang banyak hal yang kulewatkan. Termasuk bergaul dengan teman-teman sebayaku. Kesibukanku mengurus abangku, dan juga bersekolah membuatku tak sempat bergaul. Bersyukurnya sekolahku ada program akselerasi, jadi dalam kurun waktu dua tahun aku sudah bisa lulus dari sekolah menengah atas. Setelahnya, aku disibukan dengan bekerja dengan Bu Tara. Maka dari itu ketika kami sampai pada restaurant, dan Dewi berbisik ke padaku aku tak terlalu terkejut dengan segala hal yang baru saja kutahu.
"Gak apa-apa kan makan disini?" Tanya dewi "Seorang tiga ratus ribuan kalo makan disini. Kalo di Oma elly bisa abis lebih banyak dari itu,"
"Wi," aku menahan lengannya.
Bukannya aku pelit untuk diri sendiri, bukan juga karena gajiku bulan ini sedikit. Mas Reza telah memastikan aku mendapat tambahan gaji karena berhasil menggaet Ethan untuk menanam saham di The Chalmers. Namun, demi Tuhan bukannya apa, aku takut mempermalukan Dewi karena keudikanku.
"Gue belom pernah makan disini," malu-malu aku berbisik di telinga Dewi. "Takut malu-maluin,"
Dewi terkekeh pelan "Justru itu, biar lo pernah, dan kapan hari kalau kesini lagi gak malu-maluin,"
Aku melihat sekeliling, melihat meja-meja yang di atasnya memiliki grill pan, lalu melihat banyak orang berlalu lalang mengambil makanan di counter tengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Misshapen
RomanceHe's misshapen. His love is misshapen. We look grossly misshapen. But i love his misshapen...