PROLOG

51 9 3
                                    

Bagaimana jika kelahiranmu di dunia ini tidak diharapkan oleh keluargamu? Bagaimana jika semua bentuk penyiksaan yang kamu dapat adalah keadaan yang terjadi karena seharusnya kamu tidak perlu hadir di dunia ini?

"Dasar anak tidak tahu diri!", teriak seorang wanita. Kemudian disusul hinaan yang dilontarkan oleh beberapa anak berseragam SD, "Hei, Gendut!", "Awas! Ada tronton lewat!", "Ih, kamu bau! Pasti karena kamu kegendutan.", "Hei, Balon! Jangan nutup jalan!". Lalu seorang pria bertubuh kekar ikut membentaknya juga, "Hei, goblok! Kamu pikir kehadiranmu penting disini? Kamu hanya anak kebobolan." Semua ucapan itu bersahutan membekap Anna yang berdiri mematung. Teriakan-teriakan itu membuat Anna muak. Anna memegang dadanya yang semakin berdebar. Ia mulai sadar jika ini semua hanya mimpi atau sekadar imajinasi dalam kepalanya.

"Cukup! Hentikan! Ayo bangun, An! Bangun!" Teriak Anna pada dirinya sendiri.

Ia berusaha keluar dari kerumunan orang-orang yang menahannya di tengah-tengah namun gagal. Ia sadar bahwa semua ini hanyalah keadaan yang terjadi di kepalanya. Anna sadar bahwa semua ini hanyalah bagian dari mimpinya yang menyebalkan. Napas Anna mulai terengah-engah, tubuhnya gemetar. Anna memegang lehernya yang mulai nyeri. Rasanya seperti dicekik. "Bangun, Anna!", teriaknya pada diri sendiri.

"Hah... Hah... Urgh!", Anna tiba-tiba terbangun. Peluh di keningnya mulai turun perlahan, mengalir di pelipis kanan dan kirinya. Anna memegang dadanya yang terasa sangat sesak. Ia kesulitan bernapas. Ritme debaran jantungnya terlalu cepat. Uhuk... Uhuk... Anna terbatuk-batuk. Ia merasa seperti ada yang mencekik dirinya. Rasanya panas dan sangat nyeri. Dia mengambil segelas air yang ada di meja yang ada di samping tempat tidurnya. Kemudian ia menenggaknya buru-buru. Uhuk... Uhuk... Anna tersedak.

Urgh!

"Hah... Hah..." Anna berusaha mengatur napasnya. Dadanya terasa semakin panas. Debarannya semakin kencang bak genderang perang yang ditabuh saat puncak peperangan. Ia berusaha menarik napas panjang. Dalam. Perlahan. Ia mencoba untuk mengatur kembali ritme pernapasannya. Ia juga mengusap bulir-bulir keringat di kening dan pelipisnya dengan lengannya. "Aku kira - Ah... Ternyata jam setengah 3 pagi. Seperti biasa." Batin Anna. Sudah dua tahun ini, ia memang memiliki jadwal tidur yang berantakan. Namun anehnya, jam berapapun Anna mulai tidur, akan selalu terbangun di jam setengah 3 pagi dengan gelagapan dan tubuh bermandikan keringat meski di saat cuaca dingin.

Kemudian Anna berdiri dan berjalan menuju arah yang berlawanan dari posisi kasurnya. Ia menggeser beberapa tumpukan buku hingga tanpa sengaja menjatuhkan beberapa buku yang berada di tumpukan paling atas. Kemudian, ia melihat secarik kertas berwarna putih kusam dengan bercak kuning di pinggirannya dan mengambilnya dengan paksa hingga sobek di salah satu ujungnya karena tertindih sebuah kotak plastik yang nampak berat dan penuh. Lalu Anna mengambil pulpen yang terserak tak jauh dari kertas kusam itu.

"Jika memang kehadiranku tidak diharapkan, lantas mengapa aku dilahirkan?" Tulis Anna pada kertas kusam itu buru-buru. Lalu dia duduk termenung, bersandar pada dinding putih kusam yang terkelupas di bagian sana-sini. Entah apa yang dipikirkannya.

Di tengah lamunan, Sang Fajar mulai beranjak naik, menerangi langit malam yang nampak gelap dan kosong. Waktu memang tidak akan mau memberikan kesempatan untuk seseorang merenung. Dia terus saja berjalan menembus hari demi hari tanpa pandang bulu. Bahkan saat sinar matahari menembus lubang kecil di dinding kamar berukuran 2x3 meter persegi itu, Anna sama sekali tidak bergerak. Tetap duduk dan tenggelam dalam lamunannya.

Di hari yang seharusnya semua orang berkumpul, merayakan hari libur nasional bersama keluarga, Anna justru terjebak dalam ruang persegi panjang nan lembab ini sendirian. Tetangga kos sudah pulang kampung semua. Menyisakan Anna seorang diri.

Anna bangun. Sebait kalimat yang tertulis di secarik kertas tadi, ia tinggal di atas meja, ditindih dengan pulpen hitam yang terpisah antara tutup dan badannya. Anna melihat sekeliling, mengamati kamarnya yang dipenuhi barang-barang yang berserakan. Di sisi kanannya, ada tumpukan baju bersih yang sedikit bercampur dengan baju kotor. Lalu di depannya ada tumpukan buku dan kertas-kertas penuh coretan. Ia berjalan sempoyongan dengan pandangan sedikit berkunang-kunang menuju pintu kamar kosnya. Anna berjalan keluar, menyusuri lorong sepi itu perlahan, kemudian menaiki tangga besi menuju loteng kamar kosannya.

Krrr, krrr, krrr

Pagi itu, terasa begitu dingin dan sepi. Setidaknya bagi Anna. Sesekali terdengar suara dengkuran burung-burung pagi, menyambut fajar atau mungkin saja itu suara burung yang melintasi langit untuk pulang. Pulang.

"Sepi memang teman terbaikku. Dia adalah sahabat yang selalu menemani hari-hariku yang melelahkan. Apakah sepi dan kesepian adalah hal yang sama? Entahlah-" Batin Anna. Dia terus saja berjalan dengan lunglai menuju tepi loteng. Pikirannya terus berkelana tanpa arah. Kepingan-kepingan memori masa lalu terus menghampiri bahkan tak jarang mengikatnya. Membuatnya sangat lelah.

"Mungkin memang ini keputusan yang terbaik. Sepertinya aku akan lebih bahagia jika aku bisa tidur panjang. Aku tidak lagi menjadi beban atau musuh siapapun. Ya... Dengan begitu, semua kesakitan ini akan sirna." Ucap Anna lirih sembari menatap ke depan dengan pandangan kosong. Dia sudah berdiri di ujung loteng.

"Lucu juga ya, ternyata ini makna firasatku selama ini. Sepertinya, aku memang benar-benar tidak akan pernah melewati usiaku yang ke-25 tahun. Cerita berjudul 1/4 abad yang kutulis kini akan menjadi kenyataan." Kemudian Anna memejamkan mata.

"Selamat tinggal."

Merengkuh TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang