Setelah acara itu, Anna, Adi, dan Fiona makan malam bersama di sebuah restoran yang ada di mall tersebut. Fiona telah melakukan reservasi untuk tiga orang di restoran yang menyediakan dessert coklat mousse kesukaan Anna. Setibanya sup ayam dengan asparagus disajikan sebagai appertizer, mereka mulai menikmati makan malam tersebut.
"Aku senang seluruh rangkaian acara dapat berlangsung dengan baik." Ucap Adi sambil melirik ke Anna. Anna mengangguk.
"Terima kasih banyak ya, Di. Kalau bukan karena kesempatan yang kamu tawarkan saat itu, aku tidak mungkin ada di titik ini. Aku juga bahkan tidak akan berani kembali menata mimpiku apalagi berusaha mencapainya." Kata Anna yang kemudian menatap Adi, lalu menunduk. Ia begitu tersipu.
"Aku ikut bangga sama kamu, Anna. Kamu sudah berkembang sejauh ini." Kata Fiona sembari meneguk orange squash pesanannya.
Setelah selesai makan, mereka menikmati dessert yang dipesan, "Setelah ini, projek apalagi yang akan kalian kerjakan?" Tanya Fiona.
"Aku akan mulai membereskan buku yang berikutnya, yang ensiklopedia pengetahuan umum." Jawab Anna cepat yang kemudian makan coklat mousse kesukaannya itu.
"Kalau aku..." Ucap Adi gugup. Dia mulai mengatur duduknya lagi, kemudian menghela napas. Dia dan Fiona berpandangan dan saling memberi kode. Fiona mengangguk, mengisyaratkan agar Adi segera melakukannya.
"Anna!" Panggil Adi kemudian. Ia menghela napas panjang. Kemudian dia menatap wanita di depannya itu, sambil sesekali melirik Fiona yang duduk disebelah Anna.
"Ya?" Tanya Anna yang kemudian meletakkan sendoknya.
Adi memegang tangan Anna dengan lembut. Anna yang terkejut tidak bisa berkata-kata, namun ekspresi wajahnya dengan mata terbelalak, tidak bisa disembunyikan. Mengingat dia yang begitu ekspresif. "Sebenarnya, selama ini, aku memiliki perasaan sayang kepadamu. Lebih dari teman atau sahabat. Aku ingin selalu menjagamu, mendampingimu, mengkhawatirkanmu. Aku ingin memiliki hubungan yang lebih serius denganmu karena aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, Anna." Adi mengakui perasaannya kepada Anna.
Mendengar itu, Anna menunduk. Ia terkejut dengan pengakuan yang tiba-tiba ini. "A... Ak..." Anna masih belum bisa mengatakan apapun. Fiona yang duduk disebelahnya, memegang tangan Anna yang satu lagi dan tersenyum. Anna pun melihatnya.
"Aku tidak menyangka bahwa aku akan mendengar pengakuan seperti ini. Aku sudah sangat bersyukur bahwa di dunia ini ada yang mempedulikanku. Aku bahkan tidak berani berekspektasi apapun lebih dari ini." Ucap Anna kemudian.
Kemudian Anna menggenggam tangan Adi dengan erat, "Aku juga bersyukur bahwa perasaanku terbalas kepadamu. Tetapi aku kira, kamu dan Fiona..." lanjutnya dengan melirik ke Fiona.
"Aku? Sama Adi? Tidak." Kata Fiona sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mengapa kamu berpikiran aku dan Adi bisa memiliki hubungan lebih dari ini? Aku juga tidak mungkin mencintai manusia super kaku ini. Dia ini hanya lembut dan hangat ke kamu, An." Lanjutnya seraya menunjuk Adi dengan kesal.
Cih. Respon Adi kesal yang kemudian melepas genggamannya dengan Anna dan meminum air di hadapannya.
"Tuh! Kamu lihat sendiri." Tutur Fiona.
"Kalian sudah bersahabat dengan dekat bahkan sebelum bertemu denganku. Aku merasa tidak berhak untuk memiliki perasaan lebih dan merusak hubungan kalian yang sudah erat bahkan sebelum bertemu denganku. Apalagi, aku kira kamu juga mencintainya Fiona. Aku tidak ingin membuatmu sedih apalagi terluka. Tentu aku memilih merelakan perasaanku jika kalian saling mencintai." Ungkap Anna. Dengan segera, Fiona memeluknya.
"Seharusnya kamu bersikap lebih egois, Anna. Jika aku memiliki perasaan kepadanya dan aku tahu kamu juga mencintainya, aku pun akan memilih merelakannya. Tetapi kan kenyataannya saat ini, dia tidak mencintaiku dan aku tidak mencintainya. Jadi, kamu tidak perlu mengkhawatirkan hal lain." Kata Fiona lembut dengan setengah berbisik kepada Anna. Kemudian mereka tersenyum.
"Lagipula An, aku itu bukan tipe Fiona. Beneran! Fiona pernah memarahiku karena aku terlalu kaku dan cuek kepadanya. Dia juga tidak suka denganku yang terlalu serius." Kata Adi sembari mengingat percakapannya dengan Fiona.
"Karena kamu benar-benar sedingin itu sama orang. Kamu tahu, An, Adi ini paling jago buat cewek nangis. Dia kalau menolak cewek, gila sih. Aku yang ada di sebelahnya saat itu saja masih ingat sensasi dingin yang membuatku bergidik." Kenang Fiona sambil memeluk dirinya sendiri.
"Tidak perlu berlebihan seperti itu." Ucap Adi dengan menatap tajam ke Fiona. Sahabatnya itu pun membalas tatapan pria berkacamata di depannya. Lalu Anna terkekeh melihat mereka berdua seperti Tom and Jerry.
"Memang seperti itu, kan?. Bahkan saat kita SMA, aku sampai terkejut karena melihatmu begitu memperhatikan Anna. Kamu bisa berbicara selembut itu kepada seseorang. Aku juga ingat betapa khawatirnya kamu saat Anna pingsan ketika kalian karantina. Kamu meneleponku dengan begitu cemas. Aku bahkan tahu kalau kamu habis menangis karena suaramu saat itu jelek banget. Dari situlah aku menyadari, jika Adi memiliki perasaan kepadamu." Kata Fiona.
"Sejak SMA?" Tanya Anna kaget. Fiona mengangguk. Adi tersipu malu. Ia menggaruk lehernya yang tidak gatal.
"Jadi, sekarang, kalian resmi pacaran? Atau tunangan?" Tanggap Fiona. Anna dan Adi berpandangan. Anna memegang lengannya dengan agak keras. Tidak ada tanggapan dari sahabat-sahabatnya itu.
Aku tidak menyangka jika Adi memiliki perasaan kepadaku selama itu. Maka selama ini pemikiranku benar, sejak ia menarik diriku yang akan terjun dari loteng kosan, atau tentang perhatian yang ia berikan setiap hari dikantor bahkan bisa jadi ini juga alasan mengapa dengan sabar, ia menemaniku dan menungguku konseling, meskipun aku tahu bahwa dia memiliki kesibukan lain. - Batin Anna sesekali melirik ke Adi.
"Adi... Aku memang mencintaimu. Tetapi untuk saat ini, bisakah kamu memberiku waktu? Aku belum ada pikiran untuk membina hubungan yang serius atau memiliki komitmen untuk menikah. Bukan berarti aku tidak ingin bersamamu, namun aku ingin menyelesaikan urusanku dulu." Ungkap Anna.
"Aku tidak ingin membebanimu dengan kehausanku akan kebahagian. Biarkan aku mencari kedamaian dan kebahagianku dulu sebelum aku berpikir tentang orang lain." Lanjutnya. Adi tersenyum. Kemudian pria bermodel rambut Mullet itu memegang tangan Anna lagi.
"Aku akan menunggumu, berapapun lama waktu yang kamu butuhkan. Aku juga tidak terburu-buru. Di kesempatan ini, aku mengungkapkannya dengan maksud agar kamu tahu bahwa ada seorang pria kutu buku juga kaku yang mencintaimu. Jika aku bisa menyimpan perasaanku sejak SMA ini, maka tentu aku bisa menunggu sampai kamu siap. Tetapi ijinkan aku untuk terus mengkhawatirkanmu. Biarkan aku tetap mendampingimu dan menemanimu, di kantor maupun ketika kamu konseling ke rumah sakit." Pinta Adi dengan sungguh-sungguh. Anna mengangguk. Mereka berdua pun berpandangan dengan pancaran cinta yang membuncah. Fiona tersenyum lega melihat kedua sahabatnya itu.
Saat di kos, ia melihat kesekeliling kamarnya. Ia kembali ke ingatan saat ia meringkuk ketakutan di suatu malam yang dingin. Ia melihat dirinya yang duduk, memeluk dirinya dan menenggelamkan dirinya dalam kenangan pahit masa lalu. Ia berjalan menuju kursi belajarnya. Lalu melihat fotonya bersama Adi dan Anna saat dirinya mengenakan pakaian toga. Saat akan mengambil foto itu, dia mendengar suara getaran handphone-nya. Ia mengambil gawai itu yang tergeletak di pinggir meja.
Anna Divanadia. Segera keluar dari kantor penerbitan itu dan tidak berurusan dengan Big Boss. Dia bukan orang baik. Perusahaan itu juga bukan perusahaan yang benar. Kalau tidak ingin celaka, pergi sejauh mungkin dari tempat itu.
Anna membaca pesan misterius yang masuk. Anna bergidik. Ia merasa begitu khawatir karena orang aneh ini sering menghubungi dan memberi pesan yang menyuruhnya keluar dari kantor penerbitan tempat ia bekerja. Saat mencoba menghubungi nomor itu lagi, selalu masuk ke luar jaringan. Tidak pernah tersambung. Saat ia menyimpan nomor itu dan melakukan pengecekan menggunakan aplikasi pun, anehnya pun tidak terdeteksi. Siapa dia? Mengapa dia begitu mengusikku dengan ini? Batinnya. Namun Anna tidak bisa menceritakan hal ini kepada Adi atau Fiona. Ia terlalu takut. Ia juga tidak ingin kedua sahabatnya ikut terlibat dalam urusan ini. Anna segera mematikan gawainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merengkuh Takdir
Mystery / ThrillerPernahkah kalian membayangkan jika keluarga kalian tidak ingin kalian lahir di dunia? Atau sekadar berandai-andai jika orang yang membenci kalian adalah kakak atau adik kalian sendiri? Pertanyaan ini akan mengantar kalian untuk menemani Anna dalam c...