BAB 7 : FATALIS

9 3 0
                                    

Apa jadinya jika manusia bisa memilih siapa yang harus mati duluan? - Anna

Pertemuan itu, menjadi pertemuan terakhir antara Anna dan nenek. Disaat nenek berpamitan untuk tidur, nenek memilih untuk tidak bangun lagi. Anna terduduk lemas ketika raga nenek diangkat untuk kemudian disucikan. Muncul rasa penyesalan, mengapa aku tidak datang lebih cepat. Mengapa aku tidak membujuk nenek untuk ikut bersamaku saat aku diusir? Mengapa aku tidak berusaha dekat dengannya di akhir kehidupannya? Penyesalan-penyesalan itu terus mengerubungi hati dan pikiran Anna.

Lamunan Anna buyar ketika ibu menegur Anna dan mengajaknya untuk ke kamarnya. Dengan sempoyongan, Anna mengikuti ibunya. "Ada apa, bu?" Tanya Anna lemas.

"Kamu ada uang? Ibu butuh untuk tambahan biaya pemakaman nenek. Uang ayah dan ibu hanya cukup untuk biaya pemakaman. Sedangkan ibu kekurangan uang untuk membayar jasa mudin dan ambulance, belum lagi biaya tahlilan untuk besok dan seminggu kedepan." Jawab Ibu terburu-buru dengans sedikit berbisik agar para pelayat tidak mendengar obrolan mereka.

"Anna cuma bisa kasih 2 juta, Bu." Ucap Anna datar. Kemudian Anna mengambil dompet yang ada di meja dan menyerahkan uang itu ke ibunya.

Bu Aya menerima uang itu dan menghitungnya di depan Anna. "Sedikit sekali. Kurang, An. Ibu butuh lebih." Respon Bu Aya dengan kesal.

"Ibu kan tahu, Anna masih mahasiswa. Anna bahkan berusaha menghidupi diri Anna sendiri dengan menjadi guru les pribadi. Uang itu pun adalah uang tabungan Anna untuk wisuda dan biaya hidup Anna sebulan ini, Bu."

"Ibu juga tidak ingin meminta bantuanmu kalau tidak kepepet seperti ini." Kesal ibu.

"Mengapa ibu tidak meminta ke Kak Jo dan Kak Meta?" Tanya Anna ikut kesal.

"Mereka sedang tidak ada uang. Kakakmu Jo masih sangat sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan ia sudah lama tidak pulang atau sekadar menghubungi keluarga kita." Jawab ibu ketus.

"Keluarga kita? Keluarga... Mungkin keluarga ibu. Bukan kita." Kata Anna tertawa. Namun tampak jelas ada gumpalan air mata di kedua ujungnya yang menatap tajam ke ibunya itu.

"Kalau kepepet seperti saja baru cari aku. Mengapa ibu tidak mencari putra kebanggan ibu itu? Atau mengandalkan putri ibu yang lemah lembut dan penurut itu?" Lanjut Anna dengan nada tinggi.

"Apa-apaan kamu. Aku masih ibumu. Mereka adalah kakak-kakakmu dan yang baru saja meninggal adalah nenekmu. Dan ..." Sebelum Bu Aya menyelesaikan perkataannya. Anna mengangkat tangan untuk menghentikan perkataan ibunya. Anna sangat muak mendengar ocehan ibunya.

"Ibu lupa bahwa dengan tangan ibu sendiri, ibu telah mengusirku. Aku masih ingat betul saat ibu berucap bahwa aku bukan lagi bagian dari keluarga ini. Jadi, sekarang ini, aku hanyalah orang asing disini." Kata Anna yang kemudian berjalan keluar dari kamar menyedihkan itu.

Anna berjalan keluar melewati para pelayat bahkan melewati ayahnya yang duduk termangu di teras rumah. Pak Ji yang melihat putrinya berjalan tergesa-gesa pun tak kuasa menghentikannya. Ia melihat sekilas, jika putrinya menangis. Pikirannya carut-marut.

"Ibu masih saja seperti itu kepadaku. Ibu bahkan tidak bertanya tentang kabarku. Ibu mungkin juga tidak khawatir akan hidupku yang bahkan tidak jelas untuk beberapa hari kedepan dan seterusnya." Batin Anna. Anna berhenti ketika ia berada di ujung gang. Ia menjerit di ruang keheningan itu. Malam yang dingin mendekap batinnya yang menganga. Sinar rembulan bahkan tak mampu memberikan kehangatan bagi jiwa dan raga Anna.

Malam itu, jenazah nenek dikuburkan di pemakaman yang berada di belakang perumahan. Anna memilih berdiri di belakang keluarganya dan berbaur dengan kerumunan orang-orang. Sesekali Kak Meta dan ayahnya melirik kearah Anna yang terpaku menatap jasad neneknya yang akan dikebumikan. Gerimis mengiringi pemakaman malam itu. Sepertinya, langit pun bersedih karena kepulanganmu, Nek. Semoga bumi menyambutmu dengan sukacita. Selamat jalan, nenekku tersayang. Ucap Anna lirih. Kemudian Anna meninggalkan pemakaman.

Merengkuh TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang