BAB 4 PART II : GEJOLAK JIWA

12 3 0
                                    


Sore harinya, Fiona dan Adi datang bersama ke ruang rawat inap Anna. Mereka melihat Anna sedang duduk termenung di pinggir kasurnya.

"An!" Sapa Fiona seraya mendekat. Anna masih asyik melamun.

Fiona menepuk pundak Fiona, "Anna!" Panggilnya. Anna tersadar. "Maaf Fi. Sudah daritadi?" Ucap Anna. Fiona dan Adi bertukar pandang.

"Are you okay?" Tanya Fiona. Anna mengangguk.

"Beberapa hari ini, kamu tidur dalam waktu yang sangat lama. Aku sampai kaget waktu kamu bangun, terus minum, terus langsung tidur lagi. Aku sampai panggil suster, karena kupikir kamu pingsan." Kata Adi.

"Badanku tidak bertenaga. Lemas. Tadi juga aku sudah konseling dengan psikolog yang direkomendasikan. Jadi, kalian tidak perlu khawatir. Maaf ya, aku jadi terus merepotkan kalian." Respon Anna.

"Apaan sih, An. Kamu tidak merepotkan, kok."

Keesokan harinya, Anna dijemput seorang suster. Ia diminta untuk ikut ke ruangan konseling. Hari ini dia ada sesi hipnoterapi dengan psikolog Dona.

"Selamat pagi." Sapa psikolog cantik itu saat Anna masuk ke ruangan. Anna tersenyum tipis kemudian masuk ke dalam ruangan itu.

"Silakan berbaring disini." Kata Dona seraya memegang kursi panjang yang tampak nyaman dengan kain beludru dan bantal spons yang tampak tebal dan empuk. Anna pun dapat mencium aroma kayu, bukan, aroma hutan yang begitu menenangkan dari ruangan ini.

Kemudian Anna berbaring di kursi itu. Lalu psikolog Dona duduk disebelah kanannya sembari membuka catatan-catatan yang sudah dibuatnya.

"Dari hasil kamu kemarin, kamu mengalami Generalized Anxiety Disorder atau gangguan kecemasan dan depresi dengan tingkatan yang sudah Mayor karena sudah ada kecenderungan bunuh diri. Itu juga yang menyebabkan kamu terkena serangan panik seperti kebas, terus dada berdebar kencang hingga sulit bernapas, dsb." Jelas Dona.

"Lantas apa yang harus saya lakukan setelah ini?" Tanya Anna.

"Apakah kamu berkeinginan untuk pulih?" Tanya Dona kepada Anna. Anna terdiam cukup lama. Namun Dona memberikan waktu kepada pasiennya ini untuk merenung.

Tiba-tiba Anna menangis, "Saya... Saya lelah. Saya sudah lelah." Jawab Anna terbata-bata.

"Apa yang kamu rasakan saat ini? Bisa kamu ceritakan kepada saya?" Tanya Dona seraya meletakkan perekam suara di meja, tak jauh dari tempat mereka duduk.

"Saya sendirian, dokter. Keberadaan Saya hanya jadi perusak kebahagiaan orang lain. Tidak seharusnya saya hadir di dunia ini. Saya... saya tidak punya siapa-siapa lagi. Lantas untuk apa saya hidup? Apa yang perlu saya perjuangkan? Untuk siapa yang berjuang? Tidak ada." Jawab Anna seraya memejamkan mata, berusaha menahan laju air mata yang semakin deras.

"Apa yang mendasari pemikiranmu ini?" Dona berusaha menggali informasi dan rasa dari pasiennya.

"Seharusnya saya tidak pernah lahir di dunia ini. Tidak pernah terbayangkan, ketika itu, sekitar 1-2 tahun lalu, saya mendapati fakta bahwa saya bukan anak yang direncanakan. Orangtua Saya tidak lagi berniat punya anak setelah memiliki kedua kakak saya. Tetapi tanpa mereka sadari, Saya sudah hadir dalam perut ibu saya disaat bisnis ayah bangkrut dan keluarga terlilit hutang. Bahkan kakak Saya bilang, seharusnya saat itu lebih baik saya digugurkan, sehingga mereka tidak perlu kerepotan." Urai Anna sembari mengingat saat ia bertengkar dengan kakaknya Jo, dan orangtuanya justru membela kakaknya. Dona menyimak apa yang disampaikan Anna.

"Saya berusaha membayangkan apa yang kamu rasakan. Pasti rasanya sakit sekali saat kamu mengetahui fakta itu. Kamu sudah hebat bisa melaluinya dengan tabah." Respon Dona, sembari memberikan tisu kepada Anna.

Merengkuh TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang