Chapter 1

38 12 26
                                    

[Lilac's pov]

Bodoh. Kata yang cocok untukku saat ini. Bagaimana tidak jika sekarang aku berada di situasi yang sangat-sangat menyebalkan. Terlebih lagi bersama seseorang yang tidak kukenal. Bisa jadi dia penjahat bukan?

Aku susah bernapas karena dia membungkam mulutku dengan telapak tangannya yang besar. Sudah jelas dia laki-laki. Kekuatanku dengan dia tidak sebanding. Namun, ini demi menyelamatkan nyawa diri-sendiri, aku berusaha memberontak.

"Diamlah!" desisnya tepat di depanku dengan jarak dekat.

Ugh, ingin sekali kutinju wajahnya sekarang juga. Apalah daya kalau dia menahan kedua pergelangan tanganku di belakang. Tebersit di pikiran kalau aku harus menendang sesuatu pada bagian pentingnya. Tapi tidak kulakukan begitu dia kembali berbicara.

"Jangan melakukan perlawanan. Aku tidak akan macam-macam denganmu. Jika kau bergerak sekali lagi, bisa-bisa kita ketahuan. Dan mungkin kau akan ikut denganku masuk ke dalam penjara." Oh, rupanya dia mengancam.

Apa lagi yang bisa kulakukan selain menurut. Jujur saja aku sedikit takut. Apalagi kita- ehem aku dan dia berada di sebuah rumah terbengkalai. Tanpa pencahayaan, banyak semak-semak, belum lagi hewan melata yang bikin geli. Tapi itu bukan hal yang penting sekarang.

"Kita cari di rumah itu!"

"Ayo!"

Suara samar dari kejauhan membuat jantungku berdebar tak keruan. Rasa-rasanya aku ingin mengumpat. Namun, sudah keduluan oleh dia. "Sialan! Kau harus ikut denganku jika tak mau tertangkap mereka," katanya lirih penuh penekanan.

Omong kosong! Percuma aku memilih tidak ikut kalau dia saja tidak mau melepas cekalannya dan malah menyeretku paksa. Ingin sekali menangis dan meraung-raung, tapi keadaan sedang tidak berpihak padaku. Tidak bisakah aku berteleportasi?

"Aduh! Pelan-pelan tahu!" ringisku ketika tersandung batu hingga tersungkur.

"Kau merepotkan." Dia menarikku kasar untuk berdiri. Mengikuti langkah besarnya yang sangat susah kuikuti.

Apa, sih maunya dia! Untuk apa juga menyuruhku ikut. Padahalkan kita bisa berpencar. Lalu orang-orang yang mengejar dia pasti tidak akan mengejarku. Gitu kok baru kepikiran, sih?

Tempat ini seperti hutan. Beberapa rumah telah terbengkalai karena memang sengaja ditinggalkan. Beberapa masih berpenghuni, tapi tempatnya sedikit jauh dari sini. Di sanalah aku berada, sebelum iseng berjalan-jalan ke sini sendirian dan bertemu dengan dia.

Lagi-lagi aku tersungkur. Itu karena kakiku sudah tidak kuat berlari lagi. Lelaki itu berdecak kesal dan tiba-tiba berjongkok di depanku. "Naiklah!"

"Apa?" Telingaku masih berfungsi dengan baik kok. Sungguh. Aku hanya terkejut dia menawariku. Ah, sepertinya lebih ke memerintah.

"Naik ke punggungku!" ucapnya tegas.

Aku buru-buru naik ke punggungnya dengan susah payah. Tidak mau lagi kena semprotan lelaki ini. Energiku telah tersedot habis dan tentu saja tidak ingin tertangkap oleh segerombolan orang asing. Maka, ikuti saja apa yang dia perintah.

Baru juga melangkah, seseorang berdiri di depan kita. Aku tidak bisa melihat siapa gerangan karena cahaya dari bulan hanya cukup membuat tempat ini remang-remang. Namun, aku yakin sesosok itu menjulang tinggi dan besar.

LILAC [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang