[ Lilac's pov ]
Teal yang disebut oleh Red kembali tertawa. "Memang. Jadi, singkirkan dia, Red. Kalian, tangkap gadis itu," laki-laki tersebut memerintah kedua antek-anteknya.
Red sontak melindungi diriku ketika dua orang asing hendak mendekatiku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa dan malah menjadi beban Red. Dia rela berkelahi dengan mereka. Ini tidak adil, Red sendirian, sedangkan mereka berdua.
Ditambah Teal yang malah menghampiri kami. Tidak, lebih tepatnya kepadaku. Aku hanya punya dua pilihan. Melawan Teal atau lari.
Lari pilihan yang tepat, kurasa.
Dengan jantung yang berdetak kencang serta perasaan takut, aku berlari menjauh. "Kau tidak bisa lari dariku!" Suaranya bagaikan monster. Sangat mengerikan dan mampu membuat bulu kuduk berdiri.
"Lilac!" Kudengar Red memanggil namaku. Namun, aku tetap berlari menjauh dari sana.
Mengapa jalanan sepi sekali, sih. Di mana kendaraan lain? Padahal ini bukan jalanan masuk ke gang di perumahan. Hanya saja memang kanan-kiri adalah persawahan.
Entah karena orang itu yang berlari cepat ataukah aku yang berlari lambat, aku sudah bisa ditangkap. Teal membungkam mulutku yang hendak berteriak. "Jika kau berteriak, Red akan terluka parah." Dia berucap sembari memaksaku berjalan mengikutinya menuju tempat perkelahian Red berada.
Tidak! Aku tidak bisa membiarkan Red terluka karena aku. Akan semakin banyak hutang budi yang kubayar jika Red celaka. Namun, dengan cara apa aku melawan orang ini?
Ah, menyodok perutnya pasti ampuh, kan? Jadi aku melakukan hal itu dengan sikut. Hanya saja, aku tak menyangka Teal akan terpental. Meski tidak jauh, tetap saja ini sebuah kejutan.
Eh, bagaimana bisa?
Perkelahian Red terhenti. Mereka sama-sama terkejut melihat Teal terjatuh di atas aspal. Aku tidak membuang waktu lagi untuk menyuruh Red naik ke atas motor dan menghampirinya. Solusi apa selain kabur, iya, kan?
Sebelum Red naik ke atas motor, dia memberi pukulan di rahang kedua orang tersebut sampai tumbang. Walau sedikit kesusahan saat naik ke jok belakang Red, Teal dan kedua anteknya itu tidak bisa mengejar kami. Setidaknya tidak secepat seperti sebelumnya. Aku bersyukur kita sampai ke rumah tanpa dikejar oleh mereka lagi.
Red menghentikan motornya tepat di pagar rumahku. Pagarnya masih tertutup, berarti ayah belum pulang. Aku lantas turun dari motor. Sekarang aku bisa lihat dengan jelas kalau di wajahnya terluka.
"Masuklah dulu ke dalam, Red. Aku akan mengobatimu."
"Tidak. Akan kuobati sendiri di rumah."
"Red, jangan menolak. Anggap saja sebagai permintaan maafku."
"Kenapa kau malah minta maaf? Kau, kan-"
"Jangan banyak alasan. Ayo, cepat masuk. Aku tidak mau kita jadi bahan gosip ibu-ibu karena berduaan denganmu di luar."
"Justru akan tambah jadi bahan gosip kalau aku masuk ke rumahmu."
Aku menghentakkan kaki jengkel. "Ya sudahlah kalau tidak mau. Obati sendiri sana!" Aku membuka pagar, lalu kembali menutupnya tanpa melihat keberadaan Red ataupun menguncinya. Siapa tahu ayah akan pulang sebentar lagi.
Jangan heran kenapa begini saja aku sampai kesal. Itu karena aku masih kedatangan tamu bulanan. Semua perempuan pasti paham. Jadi aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar.
Begitu masuk ke dalam kamar, aku langsung mengecek handphone-ku. Terdapat pesan dari ayah kalau hari ini ayah tidak pulang ke rumah dan akan bermalam di rumahnya paman, kakak laki-laki ayah. Malas sekali aku ke depan hanya untuk mengunci pagar rumah. Mengunci pintu rumah sudah cukup, kan? Maka, aku langsung tidur saja.
~~~
Oh, ya ampun. Aku pasti tidur sangat nyenyak sekali. Matahari sudah menampakkan dirinya, sedangkan aku baru terbangun. Tapi, kenapa atap rumahku berubah jadi pepohonan!
Aku sontak mendudukkan diri. Melihat ke sekitar dengan mata melotot. Ini bukan kamarku. Betulan di hutan? Bagaimana mungkin? Pantas saja tempat yang kukira kasur terasa keras, ternyata tanah.
Apa yang terjadi padaku? Siapa yang memindahkanku ke sini? Apa karena semalam aku tidak menutup pagar, lalu ada penjahat yang menculikku? Tidak-tidak, aku pasti bermimpi.
Iya, kan?
Terlepas dari kebingungan serta kecemasan terhadap nasibku, tempat ini betulan di hutan. Suasananya sangat sejuk, ditambah sinar matahari pagi yang menyusup di celah pepohonan membuat kulit terasa sedikit hangat. Hijaunya daun pun bikin mata jadi segar. Aish, bukan saatnya mengagumi alam.
Syukurlah aku masih memakai pakaian yang sama. Hanya saja tudung kepalaku terlepas. Dengan cepat aku memakainya agar tidak ketahuan oleh orang lain. Aku menghela napas kasar seraya berdiri.
Aku harus pergi ke mana? Mencari jalan keluar di hutan sangatlah sulit. Belum lagi aku malah tersesat. Menambah beban hidup saja.
Rasanya pengen nangis.
"Hei, kita mau ke mana sebenarnya?" Suara seseorang dari kejauhan menelusup ke indra pendengaranku.
Aku sontak bersembunyi dibalik pohon yang besar. Tunggu, mengapa aku harus bersembunyi? Seharusnya aku, kan meminta bantuan. Beginilah akibatnya kalau pagi-pagi sudah mendapat kejutan.
"Tentu saja pergi ke rumah orang yang kemarin. Ini akan menjadi sejarah yang tak terlupakan. Aku jadi tidak sabar untuk memusnahkan mereka," sahut yang satunya.
Mereka berdua adalah pria. Aku hanya bisa melihat wajah salah satunya dari satu sisi. Itu pun tidak terlalu jelas karena jarak kita yang jauh. Aku jadi merinding mendengar perkataan pria yang menyahut barusan.
Siapa yang mereka maksud? Siapa yang dimusnahkan? Itu benar-benar mengerikan hanya mendengarkannya saja. Lalu, sejarah? Ini pasti bukan masalah kecil.
Dua orang tersebut memakai pakaian formal serba hitam. Mereka berjalan semakin menjauh dari posisiku. Tampaknya bukan orang sembarangan. Tapi kenapa pergi ke hutan hanya untuk menemui seseorang?
Embusan angin pagi menerpa tubuhku. Rasanya begitu nyaman, berbanding terbalik dengan di kota yang dipadati penduduk. Membuat kepala jadi pusing saja hanya melihat orang-orang berlalu lalang.
Perlahan, sesuatu merayap di punggungku. Aku lantas berbalik badan. Cahaya putih langsung menerpa pandanganku sehingga mau tidak mau harus menutup mata sangking silaunya. Badanku seolah didorong ke depan.
Seketika aku membuka mata dan menahan tubuhku agar tidak terjerembab. Namun, anehnya tempat di sekitarku berubah. Kembali ke kamar, bukan lagi ke hutan dengan posisi berdiri.
Benar, aku berdiri. Bukan terlentang di atas kasur. Apakah aku mengigau? Tapi, kenapa rasanya sangat nyata sekali? Seperti aku benar-benar di tempat hutan tadi.
Apa yang sebenarnya terjadi padaku?
~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
LILAC [On Going]
Teen FictionBlurb: Tidak ada yang mau berteman dengan Lilac karena kutukan itu. Sebuah kutukan turun-temurun dari keluarganya. Kutukan yang tidak bisa dihapus ataupun dihilangkan. Sampai membuat Lilac selalu jadi perbincangan di sekolahnya. Jangan tanya bagaima...