[ Lilac's pov ]
Aku bersama ayah pergi dari tempat itu saat hari masih gelap. Perjalanan untuk pulang ke rumah membutuhkan waktu dua jam lebih sebelas menit. Suasana di sana yang adem dan sejuk sangat berbeda sekali dengan di rumah yang berada di salah satu kompleks kota penuh dengan polusi udara dan hawa panas. Berasa simulasi di neraka.
Syukurlah ketika matahari baru muncul malu-malu, kami telah sampai di rumah. Aku sangat mengantuk sekali, tapi tak urung tetap berjalan sendiri ke rumah. Tidak mungkin menyuruh ayah menggendong diriku yang tinggi badan mencapai 160 sentimeter dan berat badan 50 kilogram. Meskipun fisik ayah masih mampu untuk menggendongku, tetap saja rasanya malu.
"Jangan tidur lagi, Lilac. Pergilah ke rumah tetangga sebelah," perintah Ayah sambil berjalan ke dapur.
Aku mengurutkan kening. Mengikuti ayah dari belakang. "Untuk apa?"
"Kasih buah-buahan ini ke mereka. Ke rumah depan pagar bercat putih." Ayah menyodorkan keranjang buah rotan yang berisikan mangga berbagai macam jenis kepadaku. Buah mangga dari Paman Beige.
Aku menerima keranjang buah yang agak berat seraya tersenyum kecut. Niat hati ingin tidur pupus sudah. Lagi pula ayah tumben sekali mau memberikan sesuatu ke tetangga. Padahal jarang sekali ayah berbuat demikian karena tahu sering jadi bahan perbincangan para tetangga.
"Tetangga baru kita. Tenang saja, mereka orang yang baik."
Perkataan ayah seolah mewakili jawaban dari pertanyaan dalam benakku. Aku tahu kok tetangga-tetangga kami sebenarnya orang baik-baik juga. Tapi yang namanya manusia pasti punya sisi jahat bukan? Ya pikirku begitu.
Ini masih jam lima lebih empat puluh sembilan menit dan aku sudah harus memencet bel rumah orang hanya untuk memberi oleh-oleh. Aku merasa tidak punya etika saat ini. Mau bagaimana lagi jika ayah yang menyuruh. Tadi juga ayah bilang kalau jam segini tetangga baru sudah memulai kegiatan mereka.
Contohnya sekarang di halaman rumah tetangga baru ada seorang wanita paruh baya yang sedang menyiram bunga. Aku tahu sebab mengintip sebentar lewat celah pagar sebelum menekan bel. Begitu terdengar suara bel, wanita tersebut membuka pagar rumahnya. Sontak aku tersenyum saat ibu-ibu itu tampak terkejut.
"Maaf, pagi-pagi saya datang berkunjung," kataku gugup sembari menyodorkan keranjang buah ke depan.
Wanita berpakaian dress bermotif tersebut balas tersenyum. "Tidak apa-apa. Ah, ini-"
"Dari ayah saya. Eum rumah saya di depan Anda tepat, pagar warna hitam. Semoga Anda senang dan betah tinggal di sini." Jantungku benar-benar berdegup keras. Aku sampai khawatir bila ibu-ibu ini mendengarnya. Tunggu, sepertinya aku terlalu formal saat mengatakan kalimat barusan.
Aku tidak tahu berapa umur ibu-ibu ini, tapi mungkin sekitar 50 tahun. Untuk pertama kali melihat beliau rasanya hatiku sedikit merasa lega. Entah mungkin tipe wajah wanita tersebut terkesan lembut nan anggun. Meski keriput, wajah beliau masih terlihat segar dan menawan. Seolah kecantikannya tidak pernah pudar.
"Ya ampun, terima kasih banyak, Nak. Kemarin memang saya dan suami berkunjung ke rumahmu. Katanya dia punya putri yang seumuran dengan anak saya. Siapa namamu, Nak? Oh, iya perkenalkan saya Ivory. Panggil saja Mama Ivy." Beliau memperkenalkan diri sambil menerima pemberianku. "Orang-orang juga memanggil saya demikian kok."
Haruskah aku memanggil beliau begitu? Rasanya canggung dan kaku. Meski ada segelintir ibu-ibu yang menyuruh memanggil mereka dengan sebutan "Mama" entah namanya atau nama anaknya, tetap saja agak sulit. Lebih ke aneh, barangkali. Aduh, kenapa aku jadi julid begini.
"Terima kasih kembali, Mama Ivy. Nama saya Lilac."
Mama Ivy menyuruhku untuk masuk ke dalam rumahnya. Namun, aku menolak secara halus. Mengingat aku telah sampai di sini masih pagi, tidak mungkin tak sekolah, kan. Walau baru kemarin tidak masuk saat hari pertama kembali masuk sekolah setelah libur panjang.
"Kalau begitu nanti berangkat sekolahnya bersama anak saya saja, ya." Mama Ivy menepuk lengan kiriku pelan, tersenyum lebar hingga kedua mata Mama Ivy menyipit.
Anggukan kaku kuberikan tatkala bingung harus menjawab apa. Lantas aku pamit pergi dengan segudang pikiran. Seperti apa reaksi anak sekolah ketika aku tiba bersama anak baru? Apa yang harus kulakukan nanti ketika hendak berangkat bersama? Mengunjungi rumah Mama Ivory terlebih dahulu atau menunggu saja di rumah?
Itu masih tiga pertanyaan. Belum pertanyaan-pertanyaan lainnya yang sukses membuat kepalaku pusing. Pundak rasanya juga jadi berat seolah menggendong tas besar. Ah, sudahlah, tidak perlu terlalu dipikirkan. Lebih baik aku segera mandi dan keramas biar segar.
~~~
Ini sangat canggung. Semobil dengan orang asing, ehem tetangga baru maksudnya membuat tubuhku tiba-tiba kaku. Duduk dengan punggung tegak, kedua lutut dirapatkan dan kedua tangan bertumpu pada paha, serta kepala menghadap ke jendela, menatap lurus pada objek luar. Aku bahkan lupa bagaimana bernapas otomatis. Bukannya malah napas manual yang bikin kedua telapak tanganku berkeringat.
"Hei, namamu Lilac, kan?" Laki-laki yang disebut seumuran denganku itu bertanya. Dia berada di sampingku. Tentunya memberi jarak.
Aku menoleh ke arahnya, mengangguk serta tersenyum tipis. Dia menyunggingkan senyum dengan sorot mata tetap memandangku. Dia pasti jadi incaran banyak siswi di sekolah. "Salam kenal, namaku Grey. Kelas sebelas. Kita masih satu sekolah, meskipun berbeda kelas."
Kedua mataku melotot. Aku tidak tahu kalau kita satu sekolah. Pantas saja rasanya aku pernah melihat dia sebelum pertemuan kita yang ini.
Grey malah tertawa hingga gigi gingsul di sebelah kirinya tampak jelas. "Jangan bilang kau mengira aku anak baru di sekolah kita? Hei, Lilac, aku hanya pindah rumah, bukan pindah sekolah. Aku juga tahu kau siapa di sekolah. Topik tentangmu tidak pernah surut jadi perbincangan warga sekolah." Dia menghentikan tawa serta ekspresi wajahnya ... kasian padaku?
Serius?
"Maaf, aku tidak mengenalmu, Grey. Tapi, benar aku selalu jadi bahan pembicaraan," kataku membuat tenggorokan sendiri seolah ada sesuatu yang mengganjal.
Topik itu lagi. Aku heran pada mereka yang selalu membicarakanku baik di depan atau di belakang. Bisa dibilang tidak semua, tapi rata-rata begitu. Risih setiap kali mereka menyebut namaku.
Aku tahu aku memiliki kutukan. Tapi tidak bisakah mulut mereka berhenti membicarakan hal itu? Apalagi sekarang aku jadi tidak punya teman di sekolah. Pastinya kedatanganku bersama siswa hari ini akan menjadi berita panas.
Ugh, aku benci ini.
~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
LILAC [On Going]
Teen FictionBlurb: Tidak ada yang mau berteman dengan Lilac karena kutukan itu. Sebuah kutukan turun-temurun dari keluarganya. Kutukan yang tidak bisa dihapus ataupun dihilangkan. Sampai membuat Lilac selalu jadi perbincangan di sekolahnya. Jangan tanya bagaima...