[ Red's pov ]
"Eh? Untuk apa kau mencari orang tuaku?" Lilac mengerutkan keningnya.
"Siapa tahu kau akan kena marah kalau ada laki-laki di sini."
"Ayahku tidak akan marah, kok. Ayah tahu siapa tamunya."
Aku manggut-manggut. Melirik Grey yang sedang menundukkan kepala menahan tawa. Teman macam apa dia ini. Lalu, Grey bersuara lagi.
"Kalau kau tidak mau sekarang, kita bisa pergi kapan-kapan, Lilac. Jangan hanya mendekam di rumah terus."
Lilac tertawa kecil. "Iya, Grey. Terima kasih sudah mengajakku."
Apa-apaan ini. Bagaimana mungkin mereka bisa seakur ini? Ada banyak yang kulewatkan. Grey harus menjelaskan semuanya. Lilac pun tumben tidak sejudes biasanya.
"Ya sudah, Lilac, aku pamit pulang. Ayo, Red." Grey bangkit berdiri. Menarik tanganku mengikutinya keluar dari rumah Lilac.
"Sialan, Grey, aku belum bertanya tentang kutukan itu," kataku lirih dan mencoba melepaskan tanganku dari kekangan makhluk resek ini.
"Kau serius datang ke sini hanya untuk bertanya hal itu? Kejam sekali kau, Red," balas Grey berbisik.
Aku memutar bola mata malas. Kita berdua sudah di depan gerbang rumah Lilac. Grey menepuk pundakku, tersenyum tipis. Lilac rupanya mengikuti kami.
"Grey jangan lupa sampaikan terima kasihku kepada Mama Ivy," ujar Lilac yang berdiri di sampingku.
"Tentu saja, Lilac. Aku pulang dulu. Red, aku duluan," pamit Grey sembari mengedipkan sebelah matanya.
Ingin sekali aku meninju wajah songong itu. Heran, aku dulu ketemu Grey di mana, sih. Tingkah absurdnya benar-benar menjengkelkan. Namun, kuakui bahwa Grey memang tipikal teman setia.
"Kau hati-hati di jalan, Red. Maaf aku tidak menjamu dirimu."
Wah, mengejutkan sekali gadis ini bisa bermulut manis. Tidak tanggung-tanggung, dia juga tersenyum. Di mana letak rasa bersalahnya? Tidak tampak di wajah polos itu.
"Sejujurnya aku ke sini karena suatu alasan." Aku menghadap tepat di depannya sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket. "Mungkin ini sedikit menyinggungmu, tapi aku sungguh amat penasaran. Jadi lebih baik kuutarakan saja."
Lilac hanya bergeming. Aneh, mengapa jadi aku yang gugup sekarang? Padahal tinggal bertanya saja kenapa lidah rasanya kelu?
"Kau-" Ucapanku terhenti ketika melihat rambut Lilac tiba-tiba berubah warna menjadi sama seperti namanya.
Bagaimana bisa?
"Lilac, rambutmu bisa berubah warna?" Pertanyaanku mendapat respon wajah terkejut Lilac.
Gadis itu menyampirkan rambutnya ke depan yang diikat seperti ekor kuda. "Oh, tidak!" Ekspresinya begitu panik.
Tanpa berbicara apa-apa lagi dia bergegas masuk ke dalam rumah. Membiarkan pagar rumahnya terbuka dan aku seorang diri dengan pertanyaan dalam benak. Bagaimana mungkin rambutnya berubah warna secepat itu? Terlebih lagi dengan warna yang sama seperti namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LILAC [On Going]
Teen FictionBlurb: Tidak ada yang mau berteman dengan Lilac karena kutukan itu. Sebuah kutukan turun-temurun dari keluarganya. Kutukan yang tidak bisa dihapus ataupun dihilangkan. Sampai membuat Lilac selalu jadi perbincangan di sekolahnya. Jangan tanya bagaima...