[ Red's pov ]
Ah, melegakan sekali akhirnya aku bisa bebas dari kandang sialan ini. Bisa-bisanya aku jadi buronan keluarga hanya karena kabur dari pesta ulang tahun keponakan. Lagi pula aku bukan hewan yang harus terus dikurung dalam kandangnya. Aku butuh kebebasan.
Aku mengelap kedua lengan serta leherku yang berkeringat setelah berolahraga. Menghela napas kasar kala melihat jam di dinding kamarku telah menunjukkan pukul enam lebih lima menit. Waktunya pergi ke sekolah. Benar-benar membosankan.
Apa aku bolos saja hari ini?
"Red! Segera keluar dari kamar! Atau Mama akan mendobrak pintu kamarmu!" teriak Mama dari luar kamarku seraya mengetuk-ngetuk pintu dengan keras.
Aku tidak membalas teriakan mama. Hanya bergumam sembari menyampirkan handuk ke pundak, masuk ke dalam kamar mandi yang berada di dalam kamarku. Jangan heran, setiap kamar di rumahku memiliki kamar mandinya sendiri. Ya bisa dibilang keluargaku ini kaya raya.
Kaya raya sekaligus kejam. Bahkan sangat menjunjung tinggi derajat manusia. Jika ingin memilih, aku tidak mau berada di keluarga sombong ini. Terlebih lagi kakek dan nenek dari papa, masa muda mereka lebih kejam daripada sekarang.
Itu yang diceritakan oleh mama. Aku sedikit beruntung dari sepupu-sepupuku yang lain. Papa dan mama tidak terlalu mengekang diriku dan tak harus mematuhi segala peraturan di rumah ini. Namun, aku dipaksa patuh pada peraturan keluarga besar yang mana kakeklah yang berkuasa.
Gara-gara kakek, aku jadi bermusuhan dengan sepupu sialan kemarin. Sejak dulu kami memang bermusuhan. Sama-sama anak bungsu, hanya saja sepupuku itu lebih tua lima tahun dariku. Untung sekarang aku sudah kembali ke rumah orang tuaku.
Oke, saatnya kembali bersenang-senang!
Tepat waktu sekali aku datang ke sekolah. Usai memasuki parkiran sekolah, gerbang ditutup. Meninggalkan beberapa siswa-siswi yang masih diluar. Siap tidak siap menerima hukuman akibat terlambat masuk ke sekolah. Peraturan di sekolah sama ketatnya di rumah.
Sangat memuakkan.
Di kelas, suasana ramai seperti biasanya. Memang kelasku ini terasa sekali kehidupannya. Kelas akan menjadi sepi dan seolah tak berpenghuni ketika kami belajar atau sedang mengerjakan ujian. Sungguh amat kompak. Tidak heran kelas kami selalu jadi bahan perbincangan para guru-guru dan murid lain.
"Hei, Red, ada apa dengan wajahmu?" Baru juga duduk di kursi, teman sebangkuku sudah menodongkan pertanyaan.
"Biasalah. Sepupu laknat," jawabku tak berselera.
Memar di sudut bibir sebelah kiriku akibat tonjokan yang diberikan oleh Teal kemarin. Kemampuannya dalam berkelahi tidak bisa diremehkan. Meski dongkol sekali karena aku hampir tumbang, dia tidak bisa melukai sepupunya sampai masuk rumah sakit. Nenek akan menangis dan memarahi Teal bila tahu cucu kesayangannya masuk rumah sakit.
Lelaki yang tingginya lebih enam sentimeter dariku dan kurus itu menepuk pundakku. "Tidak bisakah kalian akur? Aku kasihan padamu yang selalu kalah, Red."
Sialan, dia membuat darahku mendidih saja. Tangannya kutepis dengan kasar. Menatap sengit si bocah bermulut lemas. Akan kubalik amarah ini kepadamu, Green.
"Aku lebih kasihan padamu, Green. Dicampakkan keluarga sendiri, huh?"
Seperti yang kuduga, Green tersulut emosi. Dia menarik kerah seragamku hingga kami berdua berdiri. Dapat kudengar beberapa siswi di kelas menjerit kaget. Alay sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
LILAC [On Going]
Teen FictionBlurb: Tidak ada yang mau berteman dengan Lilac karena kutukan itu. Sebuah kutukan turun-temurun dari keluarganya. Kutukan yang tidak bisa dihapus ataupun dihilangkan. Sampai membuat Lilac selalu jadi perbincangan di sekolahnya. Jangan tanya bagaima...