[ Lilac's pov ]
Terlepas dari perdebatan kecil yang tidak bermutu di perpustakaan tadi, aku sangat tidak berekspektasi apa-apa. Bahkan untuk pertemuan kedua yang masih sama menjengkelkan, orang ini benar-benar punya kepribadian buruk. Maaf, aku tidak bermaksud mengolok atau menuduh. Namun, sikapnya yang sok sekali itu membuatku ingin sekali melubangi tubuhnya.
Hah, kok ada ya orang seperti dia. Aku memang harus banyak bersabar dalam mengatasi hal ini. Sekalipun hanya satu kebaikan yang ada pada dirinya. Jangan sampai membuat diriku sendiri malah jatuh ke jurang.
Tetap saja aku sangat ingin marah padanya dan mencakar-cakar wajah sok tampan itu! Kasihan keningku yang terantuk pintu. Mana sakit sekali. Semoga saja tidak benjol.
"Oh, maaf. Aku tidak melihat ada orang yang hendak keluar." Lelaki itu berucap dengan nada datar seolah tidak merasa bersalah dan langsung nyelonong masuk.
Aku mengepalkan kedua tangan. Mengulum bibir rapat-rapat agar tidak keluar kata-kata mutiara. Kemudian menggelengkan kepala tatkala terlintas di pikiran untuk membalasnya. Bisa-bisa citraku nanti semakin jelek di hadapan publik.
Aku keluar dari Kedai Burgundy (tea) dengan perasaan kesal, marah bercampur sedih. Rasanya ingin teriak sekeras mungkin tanpa ada yang mendengar. Kalaupun ada di sebuah ruang yang kedap suara, tetap tidak melegakan. Akhirnya aku berjalan dengan lesu ke parkiran.
Andai kata aku bisa berteleportasi.
"Jadi namamu, Lilac, ya."
Aku mengerutkan kening. Berbalik badan, tidak menyangka jika orang tadi akan menghampiriku hanya untuk ini. Apa, sih maunya dia?
"Lalu, apa perlu kita berkenalan secara formal?" tanyaku sambil bersedekap dada.
Cuaca sore kali ini cerah sekali. Hanya awan tipis yang tidak cukup menghalau panasnya matahari. Melihat dia-yang tidak tahu siapa namanya ke sini dengan tampang tak bersalah sama sekali membuatku jengkel. Lagi pula, buat apa juga dia tahu namaku.
"Aku baru saja diberitahu Grey. Rupanya kalian tetanggaan juga, ya," ungkapnya sembari memasukkan kedua tangan ke saku celana.
Oh, jadi begitu, dia berteman dengan Grey. Kenapa kebetulan sekali hari ini, sih? Aku tadi memang sempat bertemu dan berbincang sebentar dengan Grey di dalam kedai saat memesan. Grey bersama seseorang yang mirip dengan orang ini. Eh, apa orang yang sama? Tidak masuk akal, mana mungkin satu orang bisa membelah diri seperti amoeba.
"Kenapa memangnya? Bukankah itu tidak penting bagimu, Tuan?" Aku menghampiri letak motorku berada. Tidak serta-merta mengacuhkan orang itu.
Diluar dugaan, dia malah mengikuti diriku. Aku yang hendak memakai helm jadi urung karena dia ambil. Lelaki ini membolak-balik helmku dengan ekspresi datar. Jangan-jangan dia hendak membuang helm milikku.
"Hei! Kembalikan helmku!" Tanganku hanya meraih angin saat mencoba merebutnya.
Lihat, dia malah mengangkat helmnya tinggi-tinggi. Membuatku terpaksa berjinjit. Namun, tetap saja tidak bisa kugapai karena perbedaan tinggi badan kita yang jauh. "Kau mau apa sebenarnya?"
"Aku? Aku hanya ingin menjailimu, Lilac."
"Hah, kau punya banyak waktu ternyata. Tapi aku tidak punya waktu untuk meladeni kucing jail sepertimu!"
Aku menarik kerah kemeja kotak-kotaknya secara kuat. Dia berhasil menunduk dan .... Pupil matanya yang berwarna hitam kenapa sungguh memesona sekali. Seolah-olah tubuhku ditarik ke dalam sana. Jatuh ke lubang hitam yang tidak berdasar.
Eh?
Tiba-tiba saja dia memasukkan helm-nya ke kepalaku. Menepis kasar tanganku yang masih memegang kerahnya. Dia menghela napas kasar sembari melihatku. "Dengar, Lilac. Aku akan membuat hidupmu penuh warna. Jadi, jangan bosan-bosan dengan kehadiranku. Selamat bertemu kembali di sekolah besok."
Usai mengatakan hal itu, dia melenggang pergi. Aku termangu di tempat. Mencoba mencerna setiap kata yang dia lontarkan. Apa itu berarti aku akan sering bertemu dengannya?
Oh, demi apa pun aku tidak mau!
~~~
Sekarang aku terpaksa waspada dengan keadaan sekitar. Siapa yang tahu orang sinting kemarin mendadak muncul. Kenapa aku jadi parno begini. Perasaan saat aku menjadi buah bibir tidak semenyeramkan ini.
"Hei, Lilac!" Dari belokan koridor sekolah, Grey tersenyum lebar. Dia memanggil namaku dengan lantang seperti aku tidak bisa mendengarnya saja. Syukurlah dia tidak sedang bersama orang sinting itu.
Dapat kurasakan banyak pasang mata mengarah padaku. Siswa-siswi ini kenapa hobi sekali penasaran, sih. Dengan gugup aku menghampiri Grey karena saat ini masih di jam istirahat. Grey menyenderkan tubuhnya ke dinding serta tatapan yang terus mengarah padaku.
"Ada apa?" tanyaku langsung sembari celingak-celinguk.
"Kau mencari Red, ya? Aku tidak menyangka dia bertanya padaku kemarin tentangmu." Grey sedikit menundukkan kepala, menyunggingkan senyum seperti sedang menjailiku. "Kurasa Red mengincar dirimu."
Aku reflek menutup mulutnya dengan telapak tangan kananku. Lalu, menonjok kecil lengan Grey sambil melototkan mata. "Justru aku menghindar dari orang sinting itu! Tunggu, tunggu, siapa tadi namanya? Red? Red! Astaga."
Aku mengusap wajah kasar. Kemudian menggaruk daguku yang masih gatal akibat digigit nyamuk di rumah tadi. Apa-apaan ini? Mengapa namanya terasa tidak asing?
"Memanggil namaku, Nona?" Bagai dikejutkan suara petir, aku sontak berbalik badan.
Kenapa dia harus berdiri tepat di belakangku! Untung saja kedua muka kami tidak bertabrakan. Entah keberanian dari mana, aku menarik hidung mancungnya dengan sekuat tenaga. Hanya satu detik, kok, tapi yang mengejutkan kulitnya licin sekali. Pasti dia perawatan wajah.
"Sialan kau, Lilac!" Lelaki itu mengusap-usap hidungnya. Aku bergerak menyamping seperti kepiting. Lantas pergi dari sana dengan berlari secepat kilat. Tidak-tidak, langkah kecilku tidak secepat kilat.
"Lilac! Berhenti kau!"
Aku menjerit dalam hati begitu menengok ke belakang terlihat orang sinting itu mengejarku. Ada apa, sih dengannya? Apakah harus sampai begini? Aku, kan sudah minta maaf kemarin.
Dia pendendam sekali. Pantas saja namanya Red. Merah menyala seperti api. Sangat cocok dengan kepribadiannya.
Persetan! Aku harus bisa kabur dari Red. Di mana aku harus bersembunyi supaya tidak ketahuan Red, ya?
~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
LILAC [On Going]
Teen FictionBlurb: Tidak ada yang mau berteman dengan Lilac karena kutukan itu. Sebuah kutukan turun-temurun dari keluarganya. Kutukan yang tidak bisa dihapus ataupun dihilangkan. Sampai membuat Lilac selalu jadi perbincangan di sekolahnya. Jangan tanya bagaima...