[ Lilac's pov ]
Payah sekali kau, Lilac! Identitasmu ketahuan! Semoga saja Red tidak menyebarkan berita tentang rambutmu yang berubah warna. Tidak! Rasanya kepalaku ingin pecah saja jika memikirkan kalau-kalau Red menyebarkan berita tentangku.
Itulah sebabnya sudah dua hari ini aku pergi ke sekolah memakai jaket bertudung. Menyembunyikan rambutku yang bisa saja menjadi makanan publik saat ini. Situasi yang menyebalkan dan sungguh merepotkan. Mana aku harus menunggu setidaknya seminggu kemudian untuk memulihkan rambutku.
Aku benci leluhurku yang menurunkan kutukan.
Bersyukurnya aku tidak ada para guru yang melarang kalau kita memakai jaket di dalam kelas. Sebenarnya memang tidak diperbolehkan, tetapi bila ada sesuatu yang menyebabkan harus memakai jaket baru diperbolehkan. Inilah salah satu kemudahan yang kudapat ketika efek lain dari kutukan turun-temurun itu bekerja.
Saat ini aku berada di gudang sekolah. Untuk apa aku pergi ke sini ialah karena satu hal. Ada sebuah buku yang menjelaskan kalau sebuah kutukan bisa saja dapat dihilangkan. Paman Beige yang memberitahu sebab beliau dulu juga bersekolah di sini dan pernah membaca buku tersebut.
Aku sudah mencarinya di perpustakaan lama dan baru di sekolahku ini. Namun, aku sama sekali tidak menemukan buku yang dimaksud oleh Paman Beige. Ketika aku bertanya ke petugas kebun, beliau menjawab barangkali bukunya berada di gudang. Penyebabnya karena biasanya tidak sengaja terbawa.
Okelah, akhirnya aku memutuskan pergi ke sana saat jam istirahat. Lantas apesnya lampu di gudang tidak bisa dinyalakan. Mana tidak ada jendela besar di sini. Hanya ada ventilasi kecil berukuran 30 × 15 sentimeter.
Aku jadi terpaksa meminjam senter milik tukang kebun. Untungnya saja rumah tukang kebun berada di samping sekolahku. Jadi, beliau tidak akan bolak-balik terlalu jauh. Sebetulnya aku harus meminta maaf karena telah membuat beliau repot.
Akhirnya sekarang aku sedang mencari buku yang dimaksud di antara tumpukan kertas-kertas ujian para murid tahun lalu. Kenapa pula harus ditaruh di sini. Menyusahkan saja. Belum lagi aku harus mengecek yang berada di dalam lemari, walaupun isinya peralatan masak untuk siswa-siswi organisasi yang biasa menginap di sekolah.
Rupanya tidak ada juga usai mengecek di sana. Aku menggerutu kesal sekaligus ingin menangis. Ruangan ini sudah berdebu, lalu ada aku yang memakai jaket. Sudahlah, pengap sekali.
"Ternyata kau bersembunyi di sini ya, Lilac."
Suara seseorang mengejutkan diriku. Lantas aku berbalik badan dan mengarahkan senternya ke sesosok laki-laki yang berada di hadapan pintu. Dia mengumpat seraya menutup mata. Dengan gugup aku mematikan lampu senternya. Menghampiri siswa tersebut yang telah memergokiku.
"Red?" Aku menghela napas kasar. Tidak menyangka akan bertemu dia di sini. Bukan waktu yang tepat.
Aku sedang tidak ingin beradu argumen atau berdebat apa pun itu dengan Red. Jadi, lebih baik diam saja. Aku berbalik badan, kembali mencari buku.
"Gerak-gerikmu mencurigakan, Lilac." Red rupanya ikut masuk ke dalam gudang. Ia sebelumnya membuka pintu gudangnya lebar-lebar.
Terserah, deh.
"Pergilah kalau kau hanya mengomentari diriku, Red," ucapku mengusirnya tanpa tanggung-tanggung.
Dia kini berada di sampingku, ikut berjongkok. Aku sedang membuka dokumen serta buku-buku yang berada di kardus lain. Lama-kelamaan aku jadi stres jika tidak menemukan buku itu. Ke manakah perginya?
"Ngomong-ngomong buku apa yang kau cari, Lilac?" tanya Red dengan nada lembut.
Ada apa dengan dia? Tumben nada dan cara bicaranya tidak seperti biasa. Padahal, baru saja dia celetuk dengan nada sedikit tinggi. Mungkin karena di sini pengap, tapi memangnya ada hubungan suara dengan kondisi ruangan?
"Kau tidak perlu tahu," jawabku cuek.
Red justru tertawa. "Hei, Lilac, aku akan membantumu mencari buku yang dicari. Kau menolaknya?"
"Tentu saja. Orang seperti dirimu berniat membantuku? Hah, omong kosong."
"Baiklah, kalau gitu bagaimana caraku agar bisa dipercaya olehmu? Katakan padaku, Lilac."
"Malas."
Red kembali tertawa. Sejenis tertawa sarkas dan aku sudah tidak heran lagi. Dia ini bermuka dua. Tidak bisa dipercaya begitu saja.
Ah, kepalaku jadi pusing. Pagi tadi belum sarapan dan sampai siang ini di jam istirahat kedua juga belum makan apa pun kecuali minum air putih. Sepertinya besok lagi saja mencari buku itu. Jam berapa ya sekarang?
"Red, kau tahu sekarang jam berapa?" Aku bangkit berdiri sembari menepuk-nepuk kedua telapak tangan yang kotor akibat banyaknya debu yang menempel.
"Sudah jam dua belas lebih tiga puluh menit. Saatnya masuk ke kelas, Lilac. Ah, atau kau ingin membolos?"
Tepat usai Red bertanya, bel tanda masuk ke kelas berbunyi. Aku menghela napas lelah. "Aku bukan kau yang suka melanggar peraturan sekolah."
Aku berjalan menuju pintu, keluar dari gudang sekolah. Red mengikuti diriku. Ketika kami sudah di luar gudang, aku menutup kembali pintu gudang dan menggemboknya. Red berseru mengejek.
"Payah kau, Lilac. Kau betulan tidak membolos? Ikutlah denganku untuk membolos. Itu menyenangkan tahu!"
Aku memutar bola mata malas. Melangkah ke lorong untuk menuju ke kelasku berada. Namun, Red malah menghadangku. Senyuman miring ia tunjukkan.
Apa lagi ini?
"Minggir, Red."
"Tidak mau sebelum kau mengatakan iya."
"Iya apanya dasar sinting!"
"Perempuan tidak boleh mengumpat, Lilac."
Aku mendorong kedua bahu Red. Mungkin sangking kuatnya doronganku padahal belum makan, tetapi barangkali karena pengaruh kesal, Red sampai mundur dan malah menarik lenganku hingga kami berdua terjatuh.
~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
LILAC [On Going]
Teen FictionBlurb: Tidak ada yang mau berteman dengan Lilac karena kutukan itu. Sebuah kutukan turun-temurun dari keluarganya. Kutukan yang tidak bisa dihapus ataupun dihilangkan. Sampai membuat Lilac selalu jadi perbincangan di sekolahnya. Jangan tanya bagaima...