[ Red's pov ]
Aku benar-benar malas sekali kalau sudah berurusan dengan BK. Bimbingan konseling? Seharusnya mata pelajaran Bimbingan Konseling dilakukan dengan sungguh-sungguh. Bukannya malah hanya menjelaskan teori.
Aku sudah tidak heran lagi dengan hukumannya. Biasa kulakukan dan terkadang tidak menjalankan hukuman. Namun, karena hari ini bukan diriku saja yang mendapat hukuman, sepertinya aku harus mengerjakan. Meskipun terpaksa. Aku jadi kasihan pada gadis itu.
Tunggu, para guru mengapa tidak menegur Lilac yang menggunakan jaket dan rambutnya ditutupi oleh tudung jaket?
"Hei, Lilac, kau marah?" Aku mencekal pergelangan tangan kiri Lilac. Dia menepis tanganku dengan kasar. Kami berada di koridor sekarang, hendak menuju kelas masing-masing.
"Marah? Sudah pasti, Red. Karena kau aku jadi kena hukuman," tuduhnya seraya mendorong bahuku dengan jari telunjuk gadis itu.
Aku tertawa sinis. Melonggarkan sedikit dasi yang terasa mencekik leherku. Hawanya membuat gerah sekali. "Jidatmu haus rasa sakit, ya. Penyebab kita berdua dihukum itu karena kau juga, Lilac. Kaulah yang mendorongku."
Ekspresi kesal Lilac tidak terbendung lagi. Dia amat kesal hingga membuat wajahnya jadi agak merah. Lilac tidak membalas dan melanjutkan langkahnya. Dasar perempuan kalau kalah debat jadi marah.
Bel tanda pulang berbunyi. Aku tidak langsung beranjak. Memilih rebahan di atas kursi sembari menunggu siswa-siswi pulang. Setidaknya keadaan sepi akan memudahkanku dalam menjalankan hukuman.
Seperti kesepakatan sebelum keluar dari ruang BK tadi, aku membersihkan toilet laki-laki. Sementara Lilac di toilet perempuan. Dia sungguhan marah padaku rupanya. Biarlah, kenapa pula aku memusingkan hal itu.
"Red, aku pulang duluan," pamit Grey menepuk kakiku yang selonjoran.
Aku berdeham sebagai balasan. Menutup mata. Bersiap tidur sebentar. Aku tidak akan takut tidur terlalu lama sebab masih ad beberapa siswa-siswi di sekolah ini untuk mengikuti organisasi.
Rasa-rasanya aku baru tertidur lima menit, sudah mendapat kejutan saja. Seseorang tiba-tiba menyemprotkan air ke wajahku. Aku tentu langsung bangun. Hendak meledak-ledak, tetapi urung karena pelakunya adalah Lilac.
"Red! Kau bukannya melakukan tugas hukuman, tetapi malah tidur. Apa-apaan kau ini!" Dia meletakkan botol berisi air bening. Botol yang biasa digunakan untuk menyemprotkan vas bunga.
Aku berdiri sembari mengelap wajah. Merebut botol dari tangan Lilac dan membalas perlakuannya. Lilac mengerutkan wajah serta menutup mata. Kepalanya yang masih dipakaikan tudung jaket itu kutarik ke belakang.
Hah, aku puas sekali.
Rupanya rambut Lilac masih sama dan sekarang sedang diikat rendah. Dia gelagapan. Sedangkan aku tersenyum penuh kemenangan. Gadis ini memang perlu dikasih pelajaran.
"Red! Apa yang kau lakukan?" Lilac menatapku dengan sorot mata berapi-api. Namun, sayangnya aku tidak peduli. Pembalasan dendam ku telah terbayar.
"Memangnya apa yang kulakukan? Kau mencoba menutupi rambutmu yang berubah warna. Kenapa? Kenapa kau bersembunyi, Lilac? Dan tidak mau orang lain tahu, hm?" Aku melangkah perlahan mendekatinya.
Lilac berjalan mundur hingga dia menabrak meja. Mukanya pias sekali. Oh, kasian sekali gadis terkutuk ini.
"Aku tidak menyangka kau orang yang sangat jahat, Red. Kau mau melihat rambutku, iya? Lihat sepuasnya." Dia melepas kuncirannya. Lalu berbalik badan menunjukkan lebih jelas rambutnya.
Dasar gadis bodoh.
Kemudian Lilac memutar tubuhnya menghadapku lagi. "Sudah puas melihatnya? Kau senang?"
Tunggu, Lilac menangis. Air matanya memang luruh, tetapi dia tidak terisak. Lantas Lilac memukul dadaku dengan bibir yang bergetar. Menggumamkan sesuatu yang tidak dapat kudengar.
~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
LILAC [On Going]
Teen FictionBlurb: Tidak ada yang mau berteman dengan Lilac karena kutukan itu. Sebuah kutukan turun-temurun dari keluarganya. Kutukan yang tidak bisa dihapus ataupun dihilangkan. Sampai membuat Lilac selalu jadi perbincangan di sekolahnya. Jangan tanya bagaima...