[ Red's pov ]
Aku memilih tempat di pojok ruangan. Di sudut yang jarang dijamah oleh murid. Letak paling strategis untuk tidur. Untuk masalah ketahuan ketiduran atau tidak oleh penjaga perpustakaan, itu masalah belakangan.
Aku menutup wajah dengan buku yang kupilih acak di rak. Bersiap untuk tidur dengan nyenyak. Tidak peduli aku akan bangun jam berapa nanti. Kalau bel tanda istirahat berakhir berbunyi, tidak masalah. Aku akan bangun ketika ingin.
Perlahan aku mulai masuk ke dalam alam mimpi. Merajut kisah yang tidak pernah menjadi kenyataan. Namun, selalu tidak teringat ketika telah bangun. Terkadang kita juga bisa mengendalikan alur mimpi. Apa namanya? Lucid dream, yeah.
....
Duk!
"Aduh!"
Sial, siapa yang mengganggu tidurku? Mana kakiku terkena suatu benda keras. Aku terpaksa bangun dari tidur. Ekspresi kesal tidak akan kututupi meskipun pelakunya adalah seorang penjaga perpustakaan.
"Kau-"
"Maaf, maaf aku tidak melihat ada kaki di sini."
"Kau pikir kakiku terpisah dengan badanku, hah!"
"Jangan keras-keras. Nanti kita akan dimarahi penjaga perpustakaan. Aku, kan sudah minta maaf."
Lihat siswi ini, songong sekali dia. Kedua alis tipisnya yang ditekuk dengan bibir mengerucut sungguh ingin sekali kutimpuk menggunakan buku tebal. Dia bangkit berdiri seraya menepuk-nepuk roknya untuk menghilangkan debu. Aku juga ikut berdiri sambil berkacak pinggang.
"Selain mempunyai kutukan turun-temurun, kau juga tidak bisa melihat, ya," sarkasku menatap jengkel pada gadis ini yang sedang menunduk.
Aku lupa siapa namanya. Hanya mengetahui rupa wajahnya yang tersebar di akun gosip sekolah. Lagi pula, hei, siapa, sih yang tidak mengenal kutukan turun-temurun dari keluarga gadis ini? Hampir seluruh kota Joy tahu hal itu.
Dia mendongak. Tinggi badannya yang hanya sampai leherku serta kurus itu tampak seperti bocah SMP. Tampak sekali siswi ini sedang menahan amarah. Aku justru tersenyum lebar sembari mengangkat sebelah alis.
"Hah, percuma aku membalas ucapan binatang."
"Sial, kau-"
"Maaf, aku harus permisi dan juga minta maaf karena tidak sengaja menyandung kakimu yang tergeletak tidak berdaya."
Setelah membalas sarkasku, dia melangkah pergi dengan seenak jidatnya. Muka songong gadis itu benar-benar haus akan bogem mentah dariku. Andai dia bukan perempuan. Namun, aku cukup tertantang dengan keberaniannya itu.
Gadis itu seperti tidak gampang tumbang. Buktinya dia masih percaya diri untuk masuk ke sekolah, meskipun banyak yang menjauhinya. Rumor beredar dia tidak punya teman. Dia juga cukup beruntung karena tidak ada yang berani menindasnya.
Mungkin aku pengecualian.
~~~
"Red! Sudah Mama bilang berulang kali, kan kalau sepatu ditaruh di rak! Telingamu itu perlu Mama potong, hah!" Teriakan mama yang menggelegar ke seluruh penjuru rumah membuatku terkejut.
Aku yang sedang bermain PlayStation bersama Grey di kamar jadi terpaksa berhenti. Mengeluh dalam hati karena kalah dari Grey yang justru tertawa meledek. "Sebaiknya kau rapikan dulu sepatumu, Red."
Menjengkelkan sekali punya teman seperti Grey. Sangking jengkelnya aku sampai menempeleng kepala Grey sebelum keluar dari kamar. Langkah kaki besarku dengan cepat tiba di depan pintu rumah yang terbuka lebar. Terpampang sosok wanita berambut pendek memakai dress bercorak bunga serta kardigan warna krem sedang memijit pangkal hidungnya.
Rasa kesalku mendadak lenyap. Diganti rasa bersalah karena sudah membuat mama pusing akibat ulahku. Itu karena kemalasanku dalam hal kerapian. Memang tidak patut ditiru.
Aku memilih tidak berucap apa pun saat meletakkan sepatu ke rak. Takut mama tersinggung, dan karena mama sudah bersabar penuh atas kelakuanku selama ini. Dapat kurasakan tatapan mama setia mengamati pergerakanku hingga berdiri tepat di hadapannya sambil menunduk. Tanpa aba-aba, mama menarik daun telinga kiriku.
"Kalau mama tidak menegur, kau pasti tetap tidak mau merapikan sepatu sendiri, kan. Dasar anak bandel. Lihat, tuh sepatu anaknya Ivory, selalu rapi menaruhnya di rak," omel mama dengan mata memicing seraya melepaskan tangannya dari telingaku.
Aku hanya bisa menghela napas dan mengangguk pasrah. Lantas mengecup pipi kiri mama secara singkat sambil bilang, "maaf, ya, Ma." Respon mama yang berjengit kaget membuatku tertawa dan berlari menuju kamar agar tidak terkena lemparan sepatu.
Terdengar samar-samar mama mengomel sendiri begitu aku menutup pintu kamar. Kulihat Grey sedang memakan camilan. Layar televisi serta PlayStasion juga mati. "Kenapa kau matikan?"
"Bosan. Eh, ayo, pergi ke kedai teh!" ajak Grey dengan mata berbinar seperti anak kecil.
Aku melengos begitu saja. Menghempaskan badan ke atas kasur dengan posisi terlentang. Grey berdecak kesal, menggaruk-garuk rambut tebalnya. "Ayolah, Red!" bujuknya menarik sebelah kakiku.
"Malas! Lebih baik kau pulang sana!"
"Mana bisa. Aku, kan mau menginap di rumahmu."
"Hah, rumahku bukan tempat penampungan."
"Ck, kau ini tega sekali. Ya, sudah kalau tidak mau. Aku akan mengajak, Kak Crimson."
Setelah kepergian Grey yang cemberut itu, aku menutup mata. Menghela napas panjang, akhirnya tidak ada yang akan mengganggu tidur soreku. Namun, mengapa perasaanku jadi tidak enak, ya? Apa ini gara-gara Grey?
Ah, mana mungkin gara-gara bocah manja itu. Lalu apa? Sialan! Aku jadi tidak bisa tidur dengan nyenyak. Perasaan aneh macam apa ini?
Menuruti kata hati memang aneh. Seolah tidak bisa dilogika. Bukankah makhluk semacam kita ini sangatlah unik? Atau memang aku saja yang tidak tahu-menahu soal hal ini. Ya, sudahlah, yang jelas aku masih hidup saja bersyukur sekali.
Maka, hal yang kulakukan selanjutnya mengikuti Grey dan Kak Crimson yang ternyata sudah pergi. Mereka berdua selalu saja kompak. Kepribadian yang hampir sama pun justru membuat keduanya lebih akrab selayaknya bersama teman sebaya, meski berbeda lima tahun. Sedangkan aku dan Kak Crimson tidak terlalu dekat.
Itu bukan masalah besar, selagi kita tidak musuhan. Hubunganku dengan kakak kandungku yang lain juga sama saja. Tidak ada yang benar-benar dekat denganku. Ya, karena diri ini tanpa sadar selalu menjauh dan menolak ketika orang-orang berusaha mendekat.
Mana ada, sih orang yang bisa dipercaya? Mereka cuma memakai topeng. Di depan bicara begini, tetapi di belakang sangatlah bertolak belakang. Apa namanya?
Ah, ya munafik.
"Hei, lihat-lihat kalau jalan!" tegur seseorang tatkala aku membuka pintu dari luar di sebuah kedai teh.
Huh, dia lagi.
~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
LILAC [On Going]
Teen FictionBlurb: Tidak ada yang mau berteman dengan Lilac karena kutukan itu. Sebuah kutukan turun-temurun dari keluarganya. Kutukan yang tidak bisa dihapus ataupun dihilangkan. Sampai membuat Lilac selalu jadi perbincangan di sekolahnya. Jangan tanya bagaima...