[ Red's pov ]
Rasanya hari cepat sekali berlalu. Sekarang sudah hari Senin saja. Hari yang paling membosankan dari hari lainnya. Tahu kenapa? Ya karena kita harus berangkat ke sekolah setelah kemarin hari libur.
Membosankan bukan?
Saat ini tengah jam istirahat. Aku berada di rooftop sekolah, duduk bersandarkan dinding. Mata kututup sembari merasakan embusan angin. Suatu hal yang menenangkan. Jauh dari berisiknya para manusia.
Tiba-tiba saja terlintas di pikiran kejadian saat Lilac dikejar oleh Teal. Aku masih tidak tahu alasan Teal bisa jatuh di atas aspal. Apakah karena Lilac mendorongnya terlalu kuat? Tapi mana mungkin gadis sekecil itu mendorong Teal yang tubuhnya saja lebih besar dibandingkan aku.
Atau jangan-jangan Lilac punya sihir. Dia memakai mantra supaya Teal terjatuh. Ah, sepertinya tidak masuk akal. Namun, kurasa bisa jadi Lilac begitu.
Ceklek
"Sialan!" umpat seseorang saat membuka pintu rooftop.
Suaranya terdengar tidak asing. Sudut bibir kananku tertarik ke atas. "Rupanya kau pandai mengumpat, ya."
Lilac berjengit kaget melihatku berada di samping yang tak jauh darinya. Dia masih menggunakan jaket bertudung. Aku jadi bertanya-tanya, berapa lama warna rambutnya berubah?
Aku berdiri, menghampiri Lilac yang memalingkan wajah dan bersedekap dada. Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya kesal. Namun, yang jelas bukan aku penyebabnya. Apa jangan-jangan karena Grey?
"Kenapa kau? Datang-datang mengumpat." Aku berdiri tepat di depannya. Sedikit membungkukkan badan untuk melihat ekspresi kesalnya dengan jelas.
Lilac menghela napas kasar dengan bibir mengerucut. Aish, dia mencoba bertingkah imut. Tenang saja, aku tidak akan terpesona ataupun merasa gadis terkutuk ini lucu.
"Apa kau lihat-lihat!" bentak Lilac sambil mendongak dengan mata melotot.
Aku sontak menegakkan badan. Berdecih sinis. "Aku penasaran, sampai kapan rambutmu begitu?"
Lilac tidak langsung menjawab. Melainkan mendorong bahu kiriku. "Pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Untuk apa kau mengetahuinya? Mencoba membuatku dikenal banyak orang dan semakin banyak yang membenciku, begitu? Lalu kau akan merasa senang, iya?" Lihat, matanya bahkan memancarkan ketidaksukaan.
Ya, ampun gadis ini. Ada apa dengannya? Apakah semua perempuan di dunia ini selalu sensitif? Menyebalkan sekali.
Rasa tidak terima telah dituduh oleh Lilac membuatku reflek menyentil jidatnya dengan kuat. Aku tertawa begitu dia meng-aduh dan mengelus keningnya. Bisa dipastikan sebentar lagi kening mulusnya itu akan memerah. Atau bahkan muncul benjolan.
"Bisa tidak, kau jangan langsung menyimpulkan? Kau pikir orang lain akan sabar menghadapi sikapmu yang seperti ini, Lilac?"
"Hanya kau yang membuatku curiga, Red. Lagi pula, aku tidak memiliki banyak teman."
"Pantas saja kau tidak punya teman. Sikapmu saja kasar dan suka menuduh orang lain tanpa sebab."
"Kau!"
Lilac meraih kerah seragamku dengan mata yang berapi-api. Dia buruk sekali dalam mengelola emosinya. Sementara aku memutar bola mata malas dan tersenyum miring. Lilac ini patut diberi pelajaran.
Seperti yang kulakukan dulu, aku menarik tudungnya ke belakang. Yah, seperti yang diduga rambutnya masih belum kembali hitam. Atau tidak akan pernah kembali? Entahlah, yang pasti sekarang Lilac tampak panik dan buru-buru memakai tudungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LILAC [On Going]
Teen FictionBlurb: Tidak ada yang mau berteman dengan Lilac karena kutukan itu. Sebuah kutukan turun-temurun dari keluarganya. Kutukan yang tidak bisa dihapus ataupun dihilangkan. Sampai membuat Lilac selalu jadi perbincangan di sekolahnya. Jangan tanya bagaima...