[ Red's pov ]
Aku mematung melihat Lilac yang menangis tanpa suara. Kenapa dia malah menangis? Aku, kan cuma menggertak sedikit. Cengeng sekali. Tapi, aku juga merasa kasihan padanya.
"Ah, Red, apa kau melihat bukuku di sana!"
Suara keras nan menggelegar itu mengejutkan diriku dan Lilac yang langsung mengelap bekas air mata. Aku reflek memeluk kepala Lilac dan menghadap ke belakang kelas agar tidak terlihat oleh orang resek itu. Lilac pasti mengerti dan akan berterima kasih padaku karena telah berhasil menyembunyikan rambutnya. Lagi pula gadis ini tadi mengapa harus melepas kuncirannya, sih.
"Astaga! Kalian sedang apa?" Kentara sekali kalau siswa itu terkejut melihat posisi kami. Kepalaku menengok ke belakang sembari memasang tudung Lilac ke kepalanya dengan asal.
"Apa kau lihat-lihat!" Aku melototkan mata. Membuat ekspresi galak dan terusik akan kedatangannya.
Grey cengar-cengir, meminta maaf sambil menggaruk rambutnya yang kuduga tidak keramas selama seminggu. Langkah kakinya yang hendak menghampiri posisi kami jadi terhenti. Dasar bocah kampret!
"Kau tenang saja, Sobat. Aku akan pergi. Selamat bersenang-senang!" Grey melambaikan tangan dan berjalan keluar dari kelas.
"Apa-apaan bocah sialan itu. Lilac, kau-" Ucapanku terhenti kala menatap Lilac yang mendongakkan kepalanya. Ya ... bisa dibilang kami, ehem bertatapan mata.
Ini aneh. Bola mata Lilac seperti black hole yang dapat menarik siapa saja untuk terus menatapnya. Namun, bedanya pupil mata Lilac berwarna cokelat. Gemas, ingin sekali aku mencolok matanya.
Tiba-tiba Lilac cegukan. Aku jadi tersadar dengan posisi kami berdua yang terlihat ambigu. Gadis itu lantas melepas kedua lenganku dari lehernya. Lalu melangkah mundur seraya kembali menguncir rambut dan menutupinya lagi dengan tudung jaket.
"A-aku tidak mau tau! Pokoknya kau harus tetap jalani hukumanmu, Red." Dia berbicara dengan menundukkan kepala. Meraih botol yang dia gunakan untuk menyemprot diriku. Kemudian melangkah cepat keluar dari kelas.
Lucu.
Plak!
Aku menampar pipi kanan yang di mana kedua sudut bibirku berdenyut serasa kepengen tersenyum. Kan aneh, ya. Sepertinya ini ulah hantu di kelas. Aku harus bisa lebih menjaga diri dari energi buruk.
Tiba di rumah saat matahari hendak terbenam, aku langsung pergi ke kamar mandi. Sungguh, aku tidak betah berlama-lama dengan bau tidak sedap. Sangat mengganggu indra penciuman. Bikin mood jadi rusak.
Tentu saja keramas juga. Tidak seperti Grey yang jarang keramas. Ngomong-ngomong aku tak melihat Lilac saat pulang tadi. Apa dia pulang terlebih dahulu? Ataukah terakhir?
Sialan! Apa-apaan otakku ini. Memikirkan Lilac bukan prioritasku. Akh, lama-lama bisa gila diriku!
"Red! Cepatlah keluar! Kau ini lama sekali mandinya!"
~~~
Jam sudah menunjukkan angka sepuluh. Namun, aku susah sekali menutup mata. Masih terbayang mata Lilac yang seolah menghipnotisku. Dia amat berbeda ketika berambut hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
LILAC [On Going]
Teen FictionBlurb: Tidak ada yang mau berteman dengan Lilac karena kutukan itu. Sebuah kutukan turun-temurun dari keluarganya. Kutukan yang tidak bisa dihapus ataupun dihilangkan. Sampai membuat Lilac selalu jadi perbincangan di sekolahnya. Jangan tanya bagaima...