[ Lilac's pov ]
Melegakan sekali akhirnya bisa terbebas dari laser mata Red yang terus mengikutiku. Terima kasih kepada waktu karena bel tanda masuk telah berbunyi. Aku jadi masuk ke dalam kelas dengan napas ngos-ngosan. Tidak memedulikan berbagai tatapan murid di kelas.
Aku duduk di bangku paling belakang, pojok, tepat disamping dinding. Aku juga memiliki teman sebangku. Namun, siswi tersebut sering tidak masuk kelas. Surat izinnya saja hanya menerangkan selalu ada acara keluarga, bukan sakit.
"Lilac," panggil seorang siswa dari bangku depanku.
Mengherankan. Tumben ada yang mau bercakap-cakap denganku. Apa karena aku ketahuan berangkat sekolah dengan Grey kemarin?
"Ya? Kenapa, Denim?" Senyum tipis canggung kuberikan padanya. Denim mencolek lengan teman sebangkunya yang sibuk dengan ponsel. Siswi yang dicolek itu meletakkan ponselnya di atas meja, lalu ikut menghadap ke belakang seperti Denim.
Laki-laki berkacamata dengan kulit putih gading itu berucap, "kau pasti merasa sangat kesulitan sekarang."
"Hah?" Aku tidak mengerti apa yang dimaksud Denim. Kesulitan karena apa?
Fuschia tiba-tiba menggebrak mejaku hingga kelas lengang sejenak. Ada yang protes dengan gebrakan Fuschia, tetapi sang empu tidak mengindahkannya dan malah menatapku dengan tajam. Bukannya seram, dia terlihat seperti anak kecil yang sedang berpura-pura merajuk. Apalagi di kepalanya memakai bando warna merah muda.
"Lilac. Sebelum-sebelumnya maafkan kami yang selalu cuek padamu. Tapi sungguh, kami ingin sekali berteman denganmu sejak dulu. Lalu, sekarang inilah alasan keduanya," ucap Fuschia cepat yang membuat pikiranku macet sebentar.
Denim berdeham. Menyuruh Fuschia untuk berbicara pelan. Namun, siswi berbando merah muda itu mengerucutkan bibirnya. Jadilah Denim yang melanjutkan ucapan Fuschia.
"Kau di posisi yang sulit, Lilac. Itulah kami memutuskan untuk mengajakmu ngobrol. Kalau kau mau, kami bisa menjadi temanmu."
Aku hanya berkedip berulang kali. Mengulang ucapan mereka dalam benakku. Fuschia bahkan sampai menangkupkan kedua tangannya dan berekspresi memelas. Sebetulnya itu berlebihan, tapi tak apa.
"Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Terima kasih sudah peduli padaku. Tapi, apa maksudnya aku di posisi sulit?" Rasanya sulit berbicara dengan teman sekelas. Wajahku pasti mirip orang linglung sekarang.
Sebelum Denim buka suara, guru yang mengajar kami datang. "Nanti kita bicara lagi," kata Fuschia seraya kembali menghadap depan. Begitu juga Denim.
Ah, aku tidak bisa berkonsentrasi belajar. Maafkan aku guru yang tidak memerhatikan penjelasanmu di depan. Kepalaku rasanya ingin meledak karena terus kepikiran dengan ucapan kedua manusia di depanku ini. Sulit untuk mencerna perkataan yang terkesan sederhana dengan otak lemot begini.
Mengapa aku tidak diberi kelebihan yang luar biasa? Oh, iya aku ingat. Begini saja aku kurang bersyukur. Jika diberi kelebihan, bukankah malah jadi sombong?
Jam menunjukkan pukul dua siang tepat kelas selesai. Semua segera berbondong-bondong keluar dari area sekolah. Menjadikan jalanan sedikit macet karena banyaknya siswa-siswi yang berjalan di pinggir jalan. Kelasku bisa dibilang selalu keluar paling akhir.
Aku yang sudah berkemas dan bersiap keluar dari kelas, jadi terhenti sebab dihadang oleh Denim dan Fuschia. "Ayo, kita bicara di dalam kelas saja." Fuschia menarik lengan kananku untuk duduk di kursi. Sementara Denim menutup pintu serta gorden jendela.
Di dalam kelas jadi agak gelap. "Kenapa harus ditutup?" Pertanyaanku hanya mendapat respon gelengan kepala dari Fuschia. Lantas gadis itu bersama Denim duduk di depanku.
"Jadi, kau diperebutkan sama Grey dan Red, ya?"
Hei, bagaimana bisa Fuschia mempertanyakan hal konyol begitu. Aku menepuk kening tidak habis pikir. "Tidak, Fuschia. Berita dari mana itu? Aku dan Grey hanya sebatas tetangga rumah. Lalu Red, aku tidak punya urusan dengan siswa itu."
"Kau sungguh? Wah, berita panas tadi benar-benar fitnah. Aku juga ragu akan hal itu. Eh, maksudku kalian, kan selama ini tidak saling kenal. Bagaimana mungkin jadi bahan rebutan, iya, kan?" Fuschia menyenggol lengan Denim, tersenyum kikuk.
"Mangkanya jangan percaya akun gosip sekolah. Sudah tahu banyak berita bohong yang diunggah, tetap saja kau langsung percaya dan heboh sendiri. Untung Lilac anaknya penyabar," cibir Denim menggelengkan kepala menatap Fuschia yang cengar-cengir.
Aku tersenyum tipis memaklumi. Admin akun gosip memang tidak hanya satu orang. Jadi, berita apa pun selama masih terbaru akan menjadi trending topik di sekolah ini. Entah itu menjadi poin plus atau minus.
"Kurasa posisimu sedikit aman. Jadi, maukah kau bercerita apa yang terjadi dengan foto ini?" Fuschia menyodorkan ponselnya kepadaku. Layar ponsel Fuschia menampilkan sebuah foto saat aku sedang menyentuh dagu- menggaruk lebih tepatnya dan Red sudah berada di belakangku.
Aku mengembalikan benda tersebut kepada Fuschia yang terus saja melihatku dengan mata lebarnya. Aku jadi sedikit ngeri. Dengan ragu-ragu aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi saat istirahat tadi. Respon Fuschia benar-benar heboh, bertolak belakang dengan Denim yang memasang ekspresi datar.
"Itu gila! Kau harus waspada, Lilac. Jangan-jangan Red mau menindasmu. Oh, astaga, laki-laki itu suka sekali mencari masalah. Semoga saja pangeranku tidak ikut-ikutan kenakalan Red Moon."
"Pangeran?"
"Ah, itu hehehe, masa kau tidak tahu. Siswa populer yang menjadi tetanggamu, Lilac."
Fuschia menundukkan kepala. Tersenyum-senyum sambil memainkan jari-jemarinya. Dia jatuh cinta rupanya. Aku tertawa geli mendengarnya, sedangkan Denim mengalihkan pandang.
"Kalau ada apa-apa, kau jangan sungkan bilang ke kami, Lilac. Sekarang kita berteman." Denim mengulurkan tangan kanannya ke depan. Begitupun Fuschia, bibirnya yang tipis tertarik ke atas.
Ah, bagaimana ini? Kenapa aku jadi bingung. Mereka mau berteman denganku bukan karena aku tetangga Grey, kan? Atau sebab lainnya. Aku cemas bila sewaktu-waktu mereka mencampakanku.
"Terima kasih," kataku singkat sambil membalas uluran tangan mereka satu persatu.
Jujur aku merasa terharu. Semenjak pertama kali masuk ke sekolah ini, tidak banyak yang mau berteman denganku. Jika diingat, itu hal yang menyakitkan. Namun, aku cukup senang ke mana-mana bisa seorang diri.
Ceklek
"Ternyata kau masih bersembunyi di sini, ya. Oh, wow! Kau dapat teman baru?"
~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
LILAC [On Going]
Teen FictionBlurb: Tidak ada yang mau berteman dengan Lilac karena kutukan itu. Sebuah kutukan turun-temurun dari keluarganya. Kutukan yang tidak bisa dihapus ataupun dihilangkan. Sampai membuat Lilac selalu jadi perbincangan di sekolahnya. Jangan tanya bagaima...