Art credit: WolfyTheWitch o Twitter <3
***
"Wow, Techno, dapat dari mana?" tanyanya setelah aku menyerahkan kalung itu kepada Eliza.
Aku sedikit lengah, Wilbur mendorong tanganku yang menguncinya, memutar balikan keadaan dengan dia yang mengunci pergerakanku sekarang.
"Tidak, bukan obat ajaib yang kau dapat itu. Maksudku yang berambut hitam tadi." dia tersenyum di depan wajahku.
"Wilbur, aku tidak kuat dengan napasmu."
Aku mengatakan yang sejujurnya. Jadi, sebelum dia kembali memaksaku untuk mendengarkan celotehannya, dan menghirup napasnya yang harum bangkai, aku memukul kepalanya dengan ujung kapakku. Tubuhnya terbanting, terlihat sempoyongan ia mencoba kembali berdiri.
Aku berjongkok di samping pecundang itu, menarik rambutnya yang tidak terurus, wajahnya kembali menampakkan senyuman sok jahat itu.
"Kau benar-benar tidak tahu berterima kasih, ya?" tanyaku.
Dia hanya tersenyum, pelipis, hidung dan mulutnya mengeluarkan darah.
"Dream memberimu satu kesempatan lagi untuk hidup dan kau menyia-nyiakannya dengan berurusan denganku?"
Wilbur mencoba berbicara. "Dream, dia-"
"Oh, diam." Aku memenggalnya.
Dia diam sungguhan.
Aku berdiri dengan kepalanya yang masih berada di genggamanku. Tubuhnya terkulai tak bernyawa di samping kakiku, lalu aku teringat hal yang lebih penting daripada menikmati pemandangan di depanku saat ini; Philza.
Derap kakiku lembab karena darah dan lelehan salju yang berbenturan dengan kayu pinus. Tanganku membuka pintu rumah Philza, penampakan Philza yang masih berbaring di tempat yang sama, dengan Eliza yang berdiri di sampingnya, berkutat dengan sesuatu di atas meja.
Dia menoleh, wajahnya pucat dan matanya berbinar khawatir. Aku baru sadar dia memegang sebuah tumbukan berbahan batu.
"Aku butuh madu. Keadaannya sudah sangat buruk, madu akan mempercepat-"
"Akan aku cari."
Aku kembali ke rumah, mengobrak-abrik seluruh peti penyimpanan. Setelah tiga puluh detik yang melelahkan, aku menemukan sebotol cairan oranye yang aku dapat dari hasil panen pertama Ranboo satu bulan lalu.
Saat harapan membuncah di dalam dadaku, pemandangan yang aku lihat selanjutnya saat aku memasuki rumah Philza menghancurkan semuanya. Alih-alih meracik batu itu, Eliza sekarang berdiri di ujung ruangan, dengan sepasang tangan mengunci lehernya. Si ahli bahasa Enderman. Awak Puffy yang aku kirim ke nether, Mina. Aku tidak akan lupa namanya, karena kalau dia kabur setelah ini aku bisa mengincarnya dengan mudah. Namun, dia sepertinya ingin eksekusi yang lebih cepat.
Eliza mencoba melepaskan diri, dari dia kehabisan napas. Aku maju, mengambil pedang di pinggangku. Mata Mina membola saat melihat pedangku, tapi aku tidak berhenti. Dia melempar Eliza ke arahku lalu berusaha kabur, tapi aku mengambil belati dari pinggang Eliza dan melemparnya. Pisau itu menancap di punggungnya, dia kesakitan, berhenti berlari.
Rambutnya yang menyentuh telinga kutarik ke belakang, saat aku siap melakukan eksekusi kedua hari ini, dia berontak. Staminanya khas pelaut yang sudah ditusuk tapi masih bisa mengajakku bertarung pedang.
Perkelahian pecah di dalam ruangan sempit ini, dengan seekor harpy yang sekarang di lantai. Aku berusaha menyeimbangi langkahku untuk tidak menginjak sayap Philza, tapi dia lebih tangguh. Bertahun-tahun di atas kapal pasti melatihnya untuk melakukan aktivitas cepat dengan lantai penuh tali temali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow Lantern: The Heart of The Sea (DreamSMP Fanfiction)
Fantasy[Write In Bahasa Indonesia] (DISARANAN UNTUK TAHU ALUR DREAMSMP TERLEBIH DAHULU) Malam itu, sebuah monster bengkarak memanah kaki Eliza hingga pingsan. Saat ia siuman, lukanya sudah rapi terbalut sehelai kain dan Eliza tidak lagi berada di hutan pin...