Setidaknya semua berjalan sesuai rencana. Ah, benar, tentang eksekusinya. Lagi pula, aku tidak akan berada di sini sampai besok, aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa saat matahari mulai tenggelam dan langit berubah jingga, kristal biru itu sudah berada di tanganku dan aku sudah berdiri di atas Truamor, menikmati angin perjalanan pulang.
Ratu itu bodoh, mudah sekali aku tipu. Padahal, aroma darah masih sangat tercium dari tubuhku, tetapi dia tidak menyadarinya. Bahkan saat jari-jariku bergesekan satu sama lain, rasanya masih sangat kesat dan lembab. Dan di saat aku berpikir ini tidak bisa lebih mudah lagi, dia malah menawarkan aku makan malam spesial di rumahnya. Oh Technoblade kau memenangkannya, lagi.
Setelah aku puas memfitnah si tabib dan Skeppy, tanpa ragu para penjaga yang lain datang lagi dan kembali membawa mereka. Saat mereka benar-benar pergi dan warga sudah tidak berkerumun, wanita yang mengaku memiliki nama ‘Evandra’ itu akhirnya menyuruhku untuk bangkit. Sebelum tungkai ini aku tegakkan, aku sempatkan untuk mengecup punggung tangannya yang demi lautan dan seisinya, itu lembut. Kulitnya seakan sutra yang membelai bibirku dengan sopan.
“Kau ini apa?” Aku membeku saat tangannya menyentuh telingaku, menaikkannya sedikit saat aku masih menggenggam tangannya yang satu. “Elf?”
“Eh… Aku…” aku berdehem pelan, mencoba menghalau rasa geli yang menggelitik saat Evandra semakin meraba-raba telinga kiriku. “Aku setengah pria, setengah babi liar. Keturunan Artemis, Yang Mulia, Sang Dewi Pemburu.”
Dia berhenti melakukannya, akhirnya.
“Berdirilah,” titahnya singkat.
Aku bangkit dari berlutut. Matanya, aku ragu warna apa matanya. Berganti-ganti antara ungu, biru dan hijau, menatap lurus ke mataku. Tangan kanannya naik, mengelus pipiku yang terdapat luka sayatan bekas pertarungan hebat yang aku lakukan saat membumihanguskan L’manburg. Dia menyapu luka itu perlahan, membuatku tanpa sadar menutup mata. Jari-jarinya yang ramping lebih terasa seperti aliran air sungai yang hangat, mengalir malas di wajahku.
“Kau pemuda tangguh.” Katanya.
Aku kembali membuka mataku saat tangannya menjauhi wajah. Mataku kembali bertemu dengan matanya yang indah. Dia, lagi-lagi tersenyum. Aku menurunkan pandanganku, tidak yakin kenapa aku melakukannya.
Dia berbalik dan berjalan menjauh bersama penjaga-penjaga yang setia berdiri di samping kanan dan kirinya. Aku mendongak, memperhatikannya pergi begitu saja. Rambutnya panjang sampai menyentuh pinggang, berayun seirama dengan nada jalannya.
Sang ratu tiba-tiba berhenti melangkah dan kembali menatapku.Aku tersentak, berusaha menutupinya tetapi terasa begitu sulit.
“Ikut aku.” Titahnya lagi.
Aku menunduk. “Baik, Yang Mulia.”
Aku berjalan pelan di belakangnya. Berusaha keras untuk tidak menginjak gaunnya yang menyeret pasir. Melihat itu, aku heran kenapa gaun putihnya tetap putih sedangkan setiap dia berjalan seperti sedang membersihkan lantai?
Aku memutar otak bagaimana aku menemukan dan mendapatkan kristal biru itu. Aku sangat yakin kalau Evandra yang menyimpannya. Jadi, sejauh ini semuanya masih aman terkendali.
Evandra menuntunku ke sebuah rumah berbentuk persegi dengan bahan dasar batang pohon kelapa. Luasnya selebar rumahku dan Philza. Evandra menaiki lantai kayu rumah itu, memasuki terasnya yang tidak terlalu besar, sedang para penjaga yang tadi di sampingnya berhenti melangkah tepat di depan rumah itu.
Sang ratu membuka pintu, aku bisa mencium dengan jelas harum lili air dari dalam. Aroma yang hangat, membelai wajahku seperti tiupan angin sore.Di dalam, tampak ruangan luas tanpa sekat. Yang pertama aku lihat adalah kursi panjang (yang lebih mirip ranjang daripada kursi) dengan kain-kain putih hampir transparan yang menjuntai dari langit-langit sampai ke lantai kayu. Sebuah meja pendek lebar dengan buah-buahan berdiri di depannya untuk melengkapi kursi itu. Ada banyak sekali barang-barang tak berguna seperti nakas emas yang hampir menutupi seluruh sudut ruangan, lemari kayu, dan meja rias dengan cermin dan juga perhiasan-perhiasan berkilau di atasnya. Bahkan, aku melihat gelang dan anting berserakan lantai yang beralaskan permadani-permadani tebal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow Lantern: The Heart of The Sea (DreamSMP Fanfiction)
Fantasy[Write In Bahasa Indonesia] (DISARANAN UNTUK TAHU ALUR DREAMSMP TERLEBIH DAHULU) Malam itu, sebuah monster bengkarak memanah kaki Eliza hingga pingsan. Saat ia siuman, lukanya sudah rapi terbalut sehelai kain dan Eliza tidak lagi berada di hutan pin...