4 Maret 2012
Sesuatu yang hangat menyentuh rahangku, ku lihat Chenle tertawa sembari menyerahkan sebuah kopi hangat untukku. Aku tersenyum hingga netraku menyipit, Chenle membalas senyumku dengan lucu. Pemuda itu kemudian duduk di sebelahku.
"Haechan masih sedang diobati," kataku seperti tanpa harapan. Chenle masih tetap dengan senyumnya, ia terdiam sesaat dengan tatapannya yang penuh arti. Aku tak tahu mengapa, namun Chenle adalah orang yang sangat positif.
Ia selalh bertahan dalam situasi apapun, bahkan di saat aku merasa sakit dan ingin mati. Chenle tidak, ia ingin terus hidup serta meyakinkanku bahwa dunia tak sejahat dan sesakit yang ku kira. Ia bertahan hidup dengan sangat baik sejauh ini. Aku tak pernah melihatnya mengeluh, sama sekali.
"Jeno hyung." Ia memanggilku pelan. Aku berdehem untuk menjawabnya. Tatapanku terpaku oleh kopi hangat di tanganku, waktu berlalu dengan sangat lambat, namun Haechan masih juga belum bangun. Ia sudah tertidur hampir sebulan penuh, ia tertidur terlalu lama.
"Aku sangat bersyukur dapat sampai pada titik ini," ucapnya tiba-tiba membuatku terkesiap. Aku tak mengerti, apa yang patut disyukuri selama kami hidup di dalam rumah serasa neraka ini?
Chenle kembali tersenyum melihat raut wajah bingungku. Aku hanya dapat mengulum bibir, tak membalas ucapannya sebab ku pikir ia hanya berpura-pura.
Berpura-pura bersyukur di hadapanku agar aku tidak merasa terlalu kecewa pada semesta ini.
"Aku bersyukur sebab dapat bertemu dengan kau, serta yang lainnya, Jeno," lanjutnya lagi. Aku terhenyak, kali ini ku tatap wajahnya. Tatapan Chenle berubah menjadi sendu, tangannya mengelus puncak kepalaku.
"Terima kasih sudah bertahan, aku egois menginginkan kalian lebih dari kalian menginginkan hidup kalian sendiri. Tapi ketahuilah, keberadaan mu serta yang lainnya sangat berharga. Senyumku?" Ia terkekeh sejenak. "Kalian yang menciptakan senyumku, bahkan di saat lara menerjangku, menghimpitku seakan-akan tak akan pernah melepaskanku, kalian membopohku, memelukku, bahkan bertekuk lutut denganku untuk memohon pada Tuhan."
Aku terdiam, sibuk mencerna kata-katanya yang menyayat hatiku. Chenle masih tersenyum, ia terus menatapku.
Aku yakin, ucapannya tak main-main. Aku merasakan ketulusannya.
Aku mengulum bibir, mataku berkaca-kaca, namun aku memilih menahan tangisku. Sebab, malu rasanya menangis hanya sebuah seuntai kata fana yang keluar dari bibir seseorang.
Chenle kemudian menatap tanganku yang penuh dengan luka.
Luka itu berbentuk sayatan kecil, namun dalam. Ia meringis sebelum akhirnya mengusap dengan lembut.
"Jeno hyung, bolehkah aku kembali memintamu bertahan?"
🍃🍃🍃
"Zhong Chenle."
Chenle hanya dapat terkekeh meremehkan begitu Jaehyun menatapnya dengan tajam. Pemuda itu kemudian melangkah, mengelilingi ruangan, tangannya ia masukkan ke arah saku baju pasien. Ia tersenyum miring.
"Jeno sangat bosan tinggal di sini, mengapa kalian tidak melepaskannya?" tanyanya dengan nada menyebalkan. Pemuda itu membuat ekspresi terkejut, yang jelas saja palsu. "Ahhhh, kalian ingin menangani Jeno sebab ia dari keluarga kaya ya?" tebaknya pura-pura.
Jaehyun menggeram, ia melirik para perawat kemudian memberikan kode. Chenle menangkap pemandangan tersebut, ia kemudian duduk kembali di ranjang dengan tenang.
"Aku tidak akan menyakiti Jeno," katanya. Ia kemudian tersenyum ke arah Jaemin. "Dokter, bolehkah aku berbicara?"
Jaehyun melirik Jaemin, begitupun sebaliknya. Pemuda itu tak tahu harus apa, Jaehyun membuang napasnya kasar. Ia menganggukkan kepalanya. "Aku tunggu di luar."
"Baguslah." Chenle tersenyum tanpa rasa bersalah. Jaehyun keluar dari ruangan itu bersama para perawat. Sementara Jaemin kembali duduk pada sudut ruangan dengan kursinya.
"Manusia selalu menyakiti," ucap Chenle tiba-tiba begitu Jaemin mendudukkan diri. Pemuda itu terkesiap. "A-apa?"
"Jeno bilang ia menyayangiku." Chenle mengendikan bahunya acuh. "Jadi ia tak mau aku pergi."
Jaemin hanya diam saja, tak berniat memberikan jawaban sebab sepertinya untuk saat ini, Chenle tak membutuhkan reaksi Jaemin. Pemuda itu hanya ingin berbicara.
"Ia bilang kami harus meninggalkan Jeno cepat atau lambat. Tapi, aku sangat takut. Bagaimana jika Jeno sedih?"
Netra mata kecoklatan itu tampak menyendu. "Apalagi di sini banyak sekali orang jahat, mereka semua ingin menyakiti Jeno. Aku tak akan membiarkannya. Jeno terlalu lemah untuk melawan."
Jaemin menggenggam ujung jas putihnya itu dengan erat, menyalurkan perasaan gugupnya sebab Chenle ini tidak bisa ia tebak.
"Hati-hati." Chenle berujar serius. "Kau beruntung hari ini aku yang muncul, bagaimana jika dia yang muncul? Kau tidak akan bisa menanganinya." Ia kemudian tersenyum miring.
Jaemin mengernyit, apa maksudnya? Siapa dia yang dimaksud? Mengapa Jaemin harus merasa beruntung sekarang?
"Senang bertemu denganmu, Na Jaemin. Aku harap kita bertemu lagi," ucap Chenle sebelum memejamkan matanya untuk terlelap.
🍃🍃🍃
note; semangatt untuk yang
udah mulai sekolahhh, nanti
malemm aku upload 1 part
lagiii yaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Home Alone ✔
General FictionRumah ini hanya tinggal menyisakan satu raga, sementara yang lainnya bergerak melangkah, ia tetap pada tempatnya.