7 Juli 2012
Seperti kepingan puzzle yang mulai terpasang satu demi satu, aku merasa kehidupanku mulai tertarik ke arah penderitaan. Semua yang berharga serta berarti untukku menghilang satu persatu. Ku pikir ini wajar, namun mengapa terasa sangat menyakitkan?
Aku terlalu terbiasa untuk meminta seseorang bertahan padahal aku pun tak mampu melakukannya.
Aku terlalu egois.
Maka dari itu, aku berpikir berbalik punggung serta menulikan rungu adalah yang terbaik. Haechan bilang ia tak dapat pergi sebab aku memaksanya untuk tinggal, dan itu justru mematikan jiwanya.
Hatiku serasa tertikam mendengarnya.
Tapi apa yang bisa ku lakukan? Tak ada, sebab aku hanya manusia fana tak berarti yang kebetulan saja menapak di muka bumi ini karena kesempatan dari Yang Di Atas. Akhirnya aku akan lenyap walau mereka yang ku paksa untuk tinggal tetap berjalan di atas serpihan kaca.
"Bagus kau tak banyak ulah."
Aku menatap Ny. Kim yang berujar dengan datar, tak ada sahutan yang keluar dari bibirku. Aku memilih mengabaikan dan makan serealku dengan tenang.
"Makanlah dengan benar, Haechan!" Ny. Kim lagi-lagi membentak. Aku terkesiap namun segera bersikap biasa saja.
"Maaf."
"Kau tak tahu seberapa mahal sereal ini?!"
"Maaf."
"Kata yang kau tahu hanya maaf?!"
Haechan tak bergeming, aku meliriknya.
"Sekarang diam, kau bisu?!"
"Ny. Kim maaf, Haechan sepertinya tak sengaja," ujar Mark tampak membela. Dalam hati aku terkekeh geli, kami semua ada dalam pinggir jurang yang sama namun Mark nampak seperti ingin menyelamatkan kami. Apa gunanya?
Setelah itu ku lihat justru Mark yang menjadi sasaran kemarahan Ny. Kim, wanita tua itu menyeret Mark untuk ke kamar mandi lalu menumpahkan serealnya di sana. Selanjutnya, seperti yang dapat ditebak Mark diperintahkan untuk memakannya.
Jisung sudah menangis, sementara Chenle berusaha menenangkannya.
Hatiku sakit, namun lagi-lagi aku memilih untuk menulikan runguku.
Aku dapat melihat bahu Haechan yang bergetar, tatapan matanya kosong namun air matanya merembas keluar.
Kami semua masih duduk pada kursi ini.
Sebab seperti kataku, kami semua ada dalam posisi yang sama, kami semua ada di pinggir jurang. Jika kami berusaha menyelamatkan, kami yang akan mati.
🍃🍃🍃
"Ibu akan bicara."
Jaemin melirik sang Ibu yang baru saja berbicara, mata wanita itu nampak tak begitu semangat, tak seperti biasanya. Jaemin mengaduk teh hangat di tangannya dengan tak minat, menunggu Ibu untuk bicara.
"Jaemin..." panggil Ibu lembut. Jaemin berdehem untuk menjawabnya. "Apa kau ingat margamu sempat berganti?"
"Aku tidak begitu ingat." Ibu hanya tersenyum sebagai tanggapan, seakan-akan memaklumi. Kemudian keheningan melanda, suasana mendadak menjadi canggung. Jaemin terdiam di tempatnya dengan pikiran yang menerka-nerka.
"Apakah kau merindukan kakakmu?" tanya Ibu tiba-tiba. Jaemin tak mengerti, pemuda itu diam, tak dapat menjawab. Rindu atau tidak? Entahlah, Jaemin ingin sekali melihat sosok sang kakak yang selalu diceritakan oleh Ibunya, namun pada saat sang Ibu yang tiba-tiba diam dan tak pernah bicara apapun lagi pada saat Jaemin lulus SMA, Jaemin tak begitu penasaran.
Mungkin saja mereka sudah putus kontak, sebab sang Ayah dan kakak pergi keluar negeri, begitu pikir Jaemin.
Setelah Jaemin lulus SMA, sang Ibu menjadi sangat pendiam, ia tak pernah berbicara tentang sang kakak lagi. Ia hanya menanyakan keseharian Jaemin dan berusaha bersikap biasa walau ada yang tak biasa.
Jaemin menyadari itu, namun dibandingkan bertanya, Jaemin memilih mengabaikan.
Jaemin pikir sang Ibu akan berbicara jika ingin.
Namun sampai sekarang, tidak ada—
"Tadi malam Ibu bermimpi bertemu dengan kakakmu." Ibu berujar, membuyarkan lamunan Jaemin.
"Ibu bermimpi, kakak menemui Ibu. Kakak bilang sekarang ia sudah sangat bahagia."
Jaemin tak bergeming.
"Ibu menjadi sangat rindu. Rindu sekali."
"Mengapa tidak menel─"
"Kakakmu sudah tiada."
Bagaikan tersambar, tubuh Jaemin mendadak membatu. Ia membeku, bibirnya tiba-tiba kelu. Hatinya mencelos, air mata keluar dari sudut matanya tanpa aba-aba.
Terakhir yang Jaemin ingat, ia bertemu dengan sang kakak di umurnya yang masih sangat kecil, 5 tahun. Setelah itu sang kakak ikut dengan ayah sebab orang tua Jaemin terpaksa bercerai. Entah dengan alasan apa. Jaemin terlalu kecil untuk mengingat.
"Mengapa Ibu tak pernah bila─"
"Kau tahu Jaemin.. kakakmu selalu ada di sampingmu. Bahkan di saat kau tak tahu...
"... Lee Mark selalu ada di sampingmu.."
🍃🍃🍃
Jaemin berjalan dengan gontai, tatapan matanya kosong, pipinya sudah berbekas banyak sekali air mata, rambutnya berantakan. Penampilannya sekarang benar-benar jauh dari kata baik.
Perkataan Ibu terus terngiang di kepalanya seperti kaset yang rusak. Namun sebanyak kaset itu berputar, hati Jaemin seperti ditusuk berulang kali. Amat sakit.
Pemuda itu menggenggam erat-erat ponselnya, Jaemin sudah tak dapat menangis.
Drrt drrtt
"..."
Panggilan dari Jaehyun mengalihkan atensi Jaemin, pemuda itu mengangkat namun tak bersuara.
"Hallo??? Jaemin, apa kau ada di sana?!?" Suara Jaehyun tampak sangat panik di sana.
"Iya.."
"Jaemin, sepertinya kau harus segera ke rumah sakit!"
"Ada ap─"
"Lee Jeno...
"... Ia kabur."
🍃🍃🍃
plisss, aku takut
ini ga ngefeel T__T
KAMU SEDANG MEMBACA
Home Alone ✔
General FictionRumah ini hanya tinggal menyisakan satu raga, sementara yang lainnya bergerak melangkah, ia tetap pada tempatnya.